Selasa, 11 Desember 2012

[ TRAVELOGUE ] group exhibition - Sangkring Art Space, Dec 13, 2012


Photo-Art + Essay + Drawing + Poem
Pembukaan/ Opening: 13 December 2012, 7pm
Exhibition: 14 -28 December 2012


Mui & Tan Haur (Singapore)
together with special invited Guest Artists (Bol Brutu) :
Putu Sutawijaya, Pande Ketut Taman, Feintje Likawati, Sandat Wangi, Ida Fitri, Ninuk Retno Raras, Boen Mada, Edy Hamzah, Nur Cahyati Wahyuni, Rani Februandari, Suci Pri Hatiningsih
 and Dyah Merta.

Curator: Kris Budiman
Organizer : Jenni Vi Mee Yei

Tan Haur dan Kit Mui adalah pasangan yang nyaris secara terus-menerus terdeteritorialisasi (deteritorialized). Di dalam pelancongan-pelancongannya mereka menyusun travelogue lewat persepsi visual terhadap dan pengalaman perjumpaan dengan Yang Lain (the Other) di tempat-tempat yang lain. Dengan travelogue visual yang terutama berujud foto-foto dan sketsa-sketsa, mereka mengisahkan kembali persepsi dan pengalaman itu dengan suatu cara yang passionate.

Tan Haur and Kit Mui are couples who are almost incessantly deteritorialized. Throughout their travels they arrange travelogue through the visual perception towards and experience of encountering the Other in other places. By means of visual travelogue which mainly consists of photos and sketches, they recount the perception and experience in a way called passionate.

Sangkring Art Space
Nitiprayan rt 1, rw 20 no.88 Kasihan Bantul, Yogyakarta.

Supported by: Sangkring Art Space and Singapore International Foundation
Kit Mui Loh, the artist and her drawing



Tan Haur (artist), Jenni Vi Mee Yei (organizer), Kit Mui (artist)

Jenni Vi Mee Yei (organizer)

Participants, Kris Budiman (curator) and Kit Mui

Finishing touch

Ready to display

Drawing and handmade jewelery by Kit Mui

Kamis, 06 Desember 2012

Sosrowijayan, kampung turis di Jogjakarta

Sosrowijayan menjadi kampung pilihan untuk tinggal sementara para turis berkantong tipis karena biaya sewa peninapan yang murah dibanding kawasan turis Prawirotaman. 
Pertimbangan lain yang membuat Sosrowijayan menarik adalah lokasinya yang dekat dengan Stasiun Tugu dan Malioboro serta Kraton Yogyakarta sebagai pusat destinasi wisata utama. 
Hanya dengan berjalan kaki sekitar 200 meter ke utara akan sudah sampai di stasiun dan jika berjalan kaki ke timur akan bertemu dengan Jalan Malioboro.  

Sosrowijayan merupakan kampung tradisional di Jawa dengan ciri jalan umum yang sempit hingga sekarang tidak berubah.  Pastinya kampung ini telah ada sejak jaman dulu ketika belum ada mobil atau kereta umum dimiliki rakyat biasa, sehingga jalan umum penghubung antar rumah hanya berupa gang sempit yang hanya bisa dilalui dengan sepeda atau jalan kaki. Sepeda motor pun di bagian-bagian tertentu tidak boleh dinyalakan dan harus dituntun. 

Gang-gang sempit ini diapit oleh hotel, losmen, penginapan dengan harga relatif murah.  Hal ini membuat daya tarik bagi turis backpacker untuk seinggah pada malam hari. 

Fasilitas lengkap sama dengan kawasan turis dimanapun, tersedia berjejal sepanjang gang, seperti laundry service, internet, resto, bar, cafe, toko buku, money changer, bike & motorbike rental, car rental dan jasa pemandu wisata serta agen-agen yang menjual paket wisata. 

Jarak antar rumah yang digunakan untuk penginapan saling berhimpitan sehingga kampung ini begitu intim berinteraksi satu sama lain, baik antar warga, antar turis bahkan antara turis dan warga Sosrowijayan.  Tak heran jika kampung ini favorit bagi mereka yang menyukai pengalaman berinteraksi dengan native atau warga setempat yang memang ramah karena sudah terbiasa melayani para pendatang.



Senin, 03 Desember 2012

Boomerang BookShop : Toko Buku untuk Travelers


Sosrowijayan, sebuah kampung di Jogjakarta yang istimewa karena kemampuannya menerima turis dengan segala keperluannya.  
Semua rumah bisa difungsikan untuk segala macam kegiatan ekonomi yang menyediakan jasa bagi para travelers.  

Homestay, losmen, hotel, apapun namanya berjajar di sepanjang gang yang tidak boleh dilalui kendaraan bermotor.  
Rumah makan, bar, cafe juga mudah ditemui, masing-masing berselang beberapa jarak. 
Jasa laundry Rp 5000/kg, rental sepeda dan sepeda motor, agen paket perjalanan, money changer, internet, tattoo, pijat hingga toko buku dan souvenir.

Toko buku !

Toko buku ini membuatku teringat sesuatu.

Enam tahun yang lalu, 2004, aku pernah membeli buku dari seorang teman yang ikut mengelola sebuah toko buku di Sosrowijayan.  Dua buah novel terbitan luar negeri berbahasa Inggris yang kubeli untuk membunuh waktu ketika berada di mess saat malam seusai kerja dari tambang batubara di Kalimantan Timur yang tidak mudah mendapatkan sekedar buku bacaan.  Ternyata, tak perlu buku untuk menghabiskan waktu di sana, sebab waktuku 24 jam telah habis untuk bekerja dan istirahat.  

Tidak ada cerita tentang waktu yang longgar! Maka, jujur saja sampai sekarang belum selesai kubaca.  Kedua novel itu bercap Boomerang Book Shop beralamat di Sosrowijayan.  Tahun 2004 kudapat dan enam tahun kemudian aku baru mendatangi tokonya.   


Boomerang Book Shop dan toko-toko buku lainnya di seputar Sosrowijayan memang unik.  Gayanya berbeda dengan toko-toko buku pada umumnya.  Rak-rak kayu sederhana menjadi tempat bersandar buku-buku dengan kondisi bekas.  Buku-buku yang hampir semuanya berbahasa Inggris, selain berbahasa asing lainnya, memang bekas dibaca para traveler yang mampir.  Kebanyakan berbentuk novel dan Guide Book seperti Lonely Planet yang pasti ada dalam koleksi toko-toko buku tersebut. Mereka membeli, menjual atau menukar buku sebagai teman sepanjang perjalanan. Buku yang telah dibeli dan tamat dibaca bisa dikembalikan di toko buku tempat dimana buku itu dibeli dan dihargai dengan separuh harga belinya.  Tak jarang pula buku yang telah rampung dibaca ditinggalkan begitu saja oleh traveler. 





Teh Mawar

Hujan turun mengejar kami menuju meeting point di Sangkring Art Space di Kampung Nitiprayan.   Pertemanan yang telah dipisah jarak seluas lautan dan waktu mendekati setahun, akan direkatkan kembali siang itu.  

Aku bawakan sekotak English Tea Bag seperti pesanannya dan dia akan membawa seplastik French Roses dari negaranya.

"Local black tea bag is ok." katanya di telepon saat aku mencarikan pesanannya di supermarket.  Well, english tea bisa juga untuk sebutan teh hitam rupanya.

Pertemuan dengan teman lama selalu manis seperti 3 kuntum mawar dalam secangkir teh.  Kehidupan yang selalu berjalan dinamis, susah senang, tantangan, pencapaian, seperti misteri dalam gelapnya air seduhan teh.  Perjalanan yang hampir setahun dikabarkan dalam sejam dua jam pertemuan ini.  Kita semua telah lalui rentang waktu penuh gejolak dengan kesehatan dan keceriaan dalam setiap pergulatan yang telah kita taklukan.  Membuat kita menjadi pribadi yang tetap sama.  Orang-orang yang tahu bagaimana bersuka di antara duka.  Dan seperti kali ini, ada 3 kuntum mawar kering yang wangi menghiasi suasana lebih berbeda.  Inilah hadiah bagi orang-orang yang bersabar dan bergerak apapun yang terjadi.  


 Catatan Mama :

Teh Mawar adalah benar-benar teh perempuan, bukan karena warnanya yang mempesona, tapi juga karena manfaatnya dalam kesehatan.  Sejak Dinasti Ming (1368-1644), teh mawar ini telah diminum secara luas khususnya bagi perempuan karena manfaat kesehatannya.  Antara lain :
- menenangkan mood yang tidak stabil
- menenangkan sakit akibat menstruasi
- memperbaiki ketidakseimbangan inkresi
- mempercepat sirkulasi darah
- dan lain-lain

Menikmati seduhan teh mawar memang menenangkan, sebab teh yang manis, hangat dan aromanya yang wangi.  Setelah seduhan ke sekian kali, wangi mawar masih bisa  menyebar di seluruh ruangan di rumah.   Setelah melakukan latihan atau pekerjaan berat, menyeruput secangkir teh mawar dapat membuat rileks dan mempercepat pemulihan energi.


Dicatat dari Amazon.com


Sabtu, 01 Desember 2012

Pohon Mentaok

Pohon Mentaok

13 Februari 2011, adalah saat pertama kali menginjakkan kaki ke Kotagede, sebuah wilayah bekas Keraton Mataram Islam I.  Bersama dengan cerita asal muasal Ki Ageng Pemanahan membuka Alas/Hutan Mentaok, daerah wingit yang dihuni oleh bangsa jin itu aku mencari tahu, seperti apa pohon mentaok?

Di sekitar situs Watu Gilang atau Watu Cantheng yaitu dampar singgasana Panembahan Senapati, Raja I Keraton Mataram, sempat kutanyakan pada juru kunci atau abdi dalem yang bertugas saat itu.  Tapi ternyata, pohon mentaok sudah tidak ada lagi.  Pohon besar berdaun kecil-kecil yang ada di sekitar situs itu ternyata benar-benar Beringin bukan Mentaok.  

Padahal dalam hati, aku berharap bisa melihat pohon yang berusia ratusan tahun dan sangat terkenal itu.  

Bibit Mentaok
Lalu dalam kecewa aku bertanya, lagi-lagi dalam hati :
"Kenapa pohon setenar dan sepenting itu dalam sejarah peradaban manusia Jawa bisa habis tak bersisa?"

Hmmm, di Kotagede mestinya pelestarian heritage tak hanya melindungi dan mempertahankan yang berbentuk fisik, seperti situs ataupun rumah-rumah tradisional.  Vegetasi juga merupakan hal penting untuk dilestarikan, sebab pohon ini ikut menjalin cerita sejarah. 

Setelah dua tahun keluar masuk Kotagede, baru pada bulan Agustus 2012, aku menemukan pohon ini. Hasil dari setiap pertanyaan yang kusampaikan kepada para sesepuh di Kotagede mengenai pohon ini terjawab sudah.  

Sebuah pohon berdaun kecil dan jarang, dengan  batang kayu yang tidak terlalu besar tapi tinggi telah tumbuh di halaman Bangsal Duda, di dalam kompleks Masjid Mataram Kotagede.  Seorang abdi dalem menunjukkan padaku dan memberikan sebuah pohon mentaok mungil dalam polybag hitam yang disemaikannya dari biji-biji yang jatuh.

Terimakasih kuhaturkan pada beliau.


Bunga Mentaok yang jatuh di halaman Bangsal Duda