Siang itu perjalanan diarahkan ke sisi barat Jogjakarta, menyeberangi Sungai Progo, yaitu menuju sebuah kabupaten di Daerah Istimewa Yogyakarta yang dinamai sesuai kondisi geografisnya, Kulonprogo yang artinya barat Progo. Letaknya memang di sebelah barat Sungai Progo yang berhulu di Gunung Sumbing, mengalir ke tenggara menyusuri lembah Pegunungan Menoreh hingga bermuara di Laut Selatan Jawa. Sungai ini menjadi batas alami antara Kabupaten Sleman dan Kabupaten Kulonprogo.
Destinasi kali ini adalah sentra kerajinan dari serat agel yang mulai bangkit kembali di Sentolo, industri rumahan batik Kolonprogo dengan motif khasnya yaitu Gebleg Renteng di Sembung, menilik Yoni dan makam Jaka Tarub di desa Taruban, mengunjungi rumah bergaya Indisch di daerah bekas pabrik gula peninggalan kolonial di Galur, dan sebuah masjid tua milik Yayasan Pura Pakualaman. Semua berada di wilayah Kabupaten Kulonprogo.
Masjid Trayu, Kauman Tirtorahayu, Galur Kulon Progo, DIY
Tidak diketahui kapan masjid ini dibangun, karena aku tidak menemukan angka tahun penanda masjid ini didirikan.
Dari papan nama yang dipasang, masjid ini milik Yayasan Puro
Pakualaman, selanjutnya akan disingkat PA. Lalu timbul pertanyaanku,
mengapa ada masjid PA di Kulonprogo yang letaknya jauh dari Puro
Pakualaman? Jawaban terkuak setelah bertanya kepada seorang kawan yang sehari-hari bertugas sebagai Pamong Budaya
wilayah Kulonprogo dan melanjutkan pencarian lewat google.
Sebuah masjid memang bisa digunakan untuk pathok atau penanda bagi penguasa. Atau juga pathok sebagai penguat kekuasaan agar selalu legitimate, bahwa pemerintahan yang meskipun pusatnya berada jauh, akan tetap memiliki akar yang kuat di wilayah tersebut. Pathok Nagoro demikian sebutan yang khas untuk penanda-penanda kekuasaan ini. Setahuku, Kraton Jogjakarta memiliki 4 masjid pathok nagoro yang tersebar di 4 penjuru mata angin. Hal ini sekaligus memberikan batas yang jelas atas kekuasaan kraton.
Tapi untuk masjid Trayu ini, aku belum mengetahui dengan yakin bahwa ini sejenis dengan masjid pathok nagoro. Tapi jelas ini merupakan pathok agama, di mana Pura Pakualaman menguatkan akarnya di bidang agama, salah satunya dengan masjid untuk masyarakatnya.
Pada masa pendudukan Inggris, Sunan Solo dan Sultan Yogya dianggap
tidak mentaati Perjanjian Tuntang. Hal ini membuat Raffles memaksa
Sultan HB II turun takhta digantikan oleh Sultan HB III dengan
pengurangan wilayah kekuasaan kasultanan. Sebagian wilayah diberikan
kepada kadipaten baru yang berdiri tahun 1813, bernama Pakualaman.
Pangeran Notokusumo, putra dari Sultan HB I diangkat menjadi adipati
dengan gelar Pangeran Adipati Pakualam I.
Beberapa wilayah yang
dibagi untuk PA adalah sebelah selatan Yogyakarta, antara lain Kabupaten
Adikarto. Saat ini, Kabupaten Adikarto telah menggabungkan diri dengan
Kab Kulon Progo sejak tahun 1951, sesaat setelah PA VIII dan Sultan HB
IX menyatakan menjadi bagian dari NKRI.
Kabupaten Adikarto
terdiri dari 2 distrik yaitu Kawedanan Galur dan Kawedanan Sogan. Di
wilayah Galur inilah, Masjid Trayu berada. Mengapa PA membangun masjid
di Trayu, mungkin ada kaitannya dengan asal-usul KGPAA Paku Alam V yang
merupakan putra KGPAA Paku Alam II dari Garwo Raden Ayu Resminingdyah
yang berasal dari Trayu, Tirtarahayu, Galur. Bisa jadi, masjid ini
dibangun pada masa PA V, atau mungkin lebih jauh lagi pada masa PA II?
Semoga ada yang bisa menjawabnya hehehehe .. ;)
Terdapat makam
Raden Ayu Resminingdyah, garwa dari PA II dan beberapa keluarganya di
belakang masjid. Letak makam yang berada di sisi barat masjid adalah
ciri yang biasa ada, menjadi bagian dari keseluruhan area masjid
tradisional.
Struktur Masjid
Bangunan terdiri dari serambi dan ruang utama yang memiliki mihrab, ruangan khusus bagi Imam Masjid kala memimpin sembahyang berjama'ah. Bagian ini selalu lebih menjorok keluar dibanding shaft/barisan untuk umat umum. Selain itu terdapat mimbar dari kayu yang digunakan pengkhotbah memberikan tauziah di saat 2 khotbah jum'at, kuliah subuh, kultum dan khotbah-khotbah lain
|
Mihrab dan mimbar |
Pada bagian utama ini kerangka atap tak terlihat karena tertutup eternit. Terdapat sejumlah saka yang menopang langit-langit, yaitu 4 saka guru dan 12 saka ruwa (luar) yang berbentuk bulat atau glondhongan, bukan bersudut.
Ornamen pada sambungan blandar di rangka atap sungguh unik. Meskipun tidak bermotif bunga atau sulur daun pada umumnya ukiran di Jawa, tapi tetap saja bagian-bagian ini tidak dibiarkan polos begitu saja. Garis-garis dan pola geometris menjadi pilihan untuk mempercantik dan dibubuhkan warna cat yang berbeda, yaitu biru lembut untuk meningkahi kuning, membuatnya terlihat istimewa dan berbeda. Bagaimanapun, masjid milik PA ini ditandai dengan sentuhan seni yang lebih dibandingkan masjid-masjid di sekitarnya yang polos dan sederhana.
Masjid ini sangat khas Jawa, dengan atap tajuk
dan mustaka berbentuk sulur dan daun-daunan, bukan kubah bawang khas
Timur Tengah. Mustaka seperti ini bisa dijumpai di masjid-masjid tua
lainnya di Jogjakarta, seperti masjid-masjid Pathok Nagoro milik
Kasultanan Yogyakarta.
|
Atap tajuk dan mustaka |
Bangunan dengan cat kuning yang warnanya persis
Masjid Pakualaman di sebelah barat Puro Pakualaman ini tidak dilengkapi
dengan menara TOA untuk mengumandangkan adzan panggilan sembahyang.
Tanda waktu sembahyang diperdengarkan kepada masyarakat sekitar cukup
dengan menggunakan bedug dan kentongan yang ditabuh.
Terdapat serambi yang luas tempat di mana bedug dan kentongan diletakkan. Bagian yang lebih terbuka ini juga menjadi ciri khas masjid-masjid tua di Jogjakarta. Masjid Gedhe Mataram di Kotagede, Masjid Gedhe Kauman Jogjakarta, Masjid Saka Tunggal di Tamansari dan masjid-masjid pathok nagoro yang tersebar di empat arah mata angin, semua memiliki serambi.
|
kerangka atap serambi |
|
|
Pintu utama ruang utama dari arah serambi |