Kamis, 04 Juli 2013

Mencari keping kenangan di kampus Fisipol Bulaksumur

Bulan Juni 2013, diakhiri dengan putaran kembali peristiwa-peristiwa yang semula terlipat rapi di sudut kenangan.  Well ya, masa lalu memang tak pernah selamanya pergi.  Ada keping-keping yang meski berserakan, masih bisa bercerita tentang apa saja yang telah dialami.  Jika cukup rendah hati untuk mengakui, setiap keping kejadian yang telah menjadi kenangan adalah biji puzzle yang membentuk kita seutuhnya menjadi seperti sekarang ini.  

Untuk suatu keperluan akademis, paling tidak tiga hari aku kembali ke kampus selama akhir bulan lalu itu.  Tiga hari merasa hilang di kampus yang telah 10 tahun aku tinggalkan sejak lulus.  Gedung-gedung baru yang menjulang, penataan baru, karyawan-karyawan yang tak lagi kukenali, semua serba baru.  Semula aku antusias karena akan bernostalgia, tapi setelah berada di sana, aku tidak lagi bisa merasakan bahwa aku pernah menjadi bagian dari kampus ini.  Sungguh, tak ada lagi kenangan kejadian atau ingatan tentang teman-teman yang bisa kuambil dari sudut-sudutnya.

Lobby HI. Betapa aku merindukannya.  Betapa aku kecewa, teras sejuk itu telah berubah menjadi bagian gedung baru berlantai banyak.  Plaza Sospol juga sudah dihancurkan.  Patung keluarga yang sedang belajar itu sudah berpindah posisi.  Pohon-pohon ketapang yang memayungi bangku-bangku beton tempat diskusi atau sekedar mengobrol sudah ditebang.  Tapi yang paling membuat asing adalah ruang administrasi dan kantor dosen-dosen HI.  Berada di lantai 3 sayap barat yang tersekat-sekat.  

Tak pernah membayangkan aku akan menemui mas Edi, kesayangan kami dalam urusan administrasi, Pak Dafri -dosen pembimbing skripsi atau Pak Mochtar -dosen wali, dalam ruang-ruang sempit.  Lift sunyi dan dingin dari lantai dasar mengangkatku menuju lorong sepi.  Super ngelangut!  Mana derap langkah-langkah mahasiswa? Mana gelak canda mereka, seperti yang seringkali kami lakukan dulu?  Mana dengung mereka yang riuh berdebat di bawah pohon ketapang atau cukup lesehan di lantai koridor? 

Tidak seperti dulu, Mas Edi tidak lagi bisa menjawab pertanyaanku dan beberapa mahasiswa yang mencari dosennya, apakah sudah datang atau belum.  Sebab dosen berkantor terpisah dan masing-masing menempati bilik-biliknya sendiri.  Tak ada lagi acara menguping pembicaraan para dosen, sebab tak ada lagi acara mengobrol dalam ruangan.  Ya, masing-masing sibuk dan fokus dengan pekerjaannya sendiri dalam kotak-kotak yang membatasi mereka dari segala sesuatu di luar dirinya.

Aku berhasil menemui Pak Dafri, dan mendapatkan tanda-tangan beliau untuk surat rekomendasi.  Beliau masih persis seperti yang aku ingat, gaya dan bicaranya tetap sama.  Hanya tubuhnya menggemuk sedikit.  Kutinggalkan ruangan beliau dengan ucapan terimakasih untuk apa yang telah diperbuat untukku di masa lalu dan surat rekomendasi ini.  Doa semoga selalu beruntung dan sehat aku ucapkan diam-diam dalam hati.

Di ruang administrasi, aku bertemu Pak Mochtar Mas'oed, dosen wali yang sering aku kejar sampai ke Gedung PAU untuk urusan KRS.  Hanya bertegur sapa secukupnya, sebab beliau sibuk mengatur napas setelah naik dari lantai dasar.  Ahh, semoga Pak Mochtar selalu sehat, hanya itu yang bisa kuucapkan setelah beliau meminum teh-nya dan meninggalkan ruangan. 

Aku meninggalkan kampus dengan perasaan yang dingin.  Antusiasme telah lenyap, meskipun masih sempat aku mencari secuil kenangan di beberapa titik yang mestinya ada.  Tapi tak ada sedikitpun kutemui sudut-sudut nostalgic di sana.  Life is about moving on.  Hidup adalah melulu bergerak.  Dan kenangan kadang tak pernah mendapat tempat dalam setiap gerakan.








Tidak ada komentar:

Posting Komentar