Selasa, 23 Juli 2013

Masjid Trayu: Pathok Agama Pura Pakualaman

Siang itu perjalanan diarahkan ke sisi barat Jogjakarta, menyeberangi Sungai Progo, yaitu menuju sebuah kabupaten di Daerah Istimewa Yogyakarta yang dinamai sesuai kondisi geografisnya, Kulonprogo yang artinya barat Progo.  Letaknya memang di sebelah barat Sungai Progo yang berhulu di Gunung Sumbing, mengalir ke tenggara menyusuri lembah Pegunungan Menoreh hingga bermuara di Laut Selatan Jawa.   Sungai ini menjadi batas alami antara Kabupaten Sleman dan Kabupaten Kulonprogo.  

Destinasi kali ini adalah sentra kerajinan dari serat agel yang mulai bangkit kembali di Sentolo, industri rumahan batik Kolonprogo dengan motif khasnya yaitu Gebleg Renteng di Sembung, menilik Yoni dan makam Jaka Tarub di desa Taruban, mengunjungi rumah bergaya Indisch di daerah bekas pabrik gula peninggalan kolonial di Galur, dan sebuah masjid tua milik Yayasan Pura Pakualaman.  Semua berada di wilayah Kabupaten Kulonprogo.

Masjid Trayu, Kauman Tirtorahayu, Galur Kulon Progo, DIY



Tidak diketahui kapan masjid ini dibangun, karena aku tidak menemukan angka tahun penanda masjid ini didirikan.

Dari papan nama yang dipasang, masjid ini milik Yayasan Puro Pakualaman, selanjutnya akan disingkat PA. Lalu timbul pertanyaanku, mengapa ada masjid PA di Kulonprogo yang letaknya jauh dari Puro Pakualaman? Jawaban terkuak setelah bertanya kepada seorang kawan yang sehari-hari bertugas sebagai Pamong Budaya wilayah Kulonprogo dan melanjutkan pencarian lewat google.

Sebuah masjid memang bisa digunakan untuk pathok atau penanda bagi penguasa.  Atau juga pathok sebagai penguat kekuasaan agar selalu legitimate, bahwa pemerintahan yang meskipun pusatnya berada jauh, akan tetap memiliki akar yang kuat di wilayah tersebut.  Pathok Nagoro demikian sebutan yang khas untuk penanda-penanda kekuasaan ini.  Setahuku, Kraton Jogjakarta memiliki 4 masjid pathok nagoro yang tersebar di 4 penjuru mata angin.  Hal ini sekaligus memberikan batas yang jelas atas kekuasaan kraton.  
Tapi untuk masjid Trayu ini, aku belum mengetahui dengan yakin bahwa ini sejenis dengan masjid pathok nagoro.  Tapi jelas ini merupakan pathok agama, di mana Pura Pakualaman menguatkan akarnya di bidang agama, salah satunya dengan masjid untuk masyarakatnya. 

Pada masa pendudukan Inggris, Sunan Solo dan Sultan Yogya dianggap tidak mentaati Perjanjian Tuntang. Hal ini membuat Raffles memaksa Sultan HB II turun takhta digantikan oleh Sultan HB III dengan pengurangan wilayah kekuasaan kasultanan. Sebagian wilayah diberikan kepada kadipaten baru yang berdiri tahun 1813, bernama Pakualaman. Pangeran Notokusumo, putra dari Sultan HB I diangkat menjadi adipati dengan gelar Pangeran Adipati Pakualam I.
Beberapa wilayah yang dibagi untuk PA adalah sebelah selatan Yogyakarta, antara lain Kabupaten Adikarto. Saat ini, Kabupaten Adikarto telah menggabungkan diri dengan Kab Kulon Progo sejak tahun 1951, sesaat setelah PA VIII dan Sultan HB IX menyatakan menjadi bagian dari NKRI.

Kabupaten Adikarto terdiri dari 2 distrik yaitu Kawedanan Galur dan Kawedanan Sogan. Di wilayah Galur inilah, Masjid Trayu berada. Mengapa PA membangun masjid di Trayu, mungkin ada kaitannya dengan asal-usul KGPAA Paku Alam V yang merupakan putra KGPAA Paku Alam II dari Garwo Raden Ayu Resminingdyah yang berasal dari Trayu, Tirtarahayu, Galur. Bisa jadi, masjid ini dibangun pada masa PA V, atau mungkin lebih jauh lagi pada masa PA II? Semoga ada yang bisa menjawabnya hehehehe .. ;)

Terdapat makam Raden Ayu Resminingdyah, garwa dari PA II dan beberapa keluarganya di belakang masjid. Letak makam yang berada di sisi barat masjid adalah ciri yang biasa ada, menjadi bagian dari keseluruhan area masjid tradisional. 


Struktur Masjid
Bangunan terdiri dari serambi dan ruang utama yang memiliki mihrab, ruangan khusus bagi Imam Masjid kala memimpin sembahyang berjama'ah.  Bagian ini selalu lebih menjorok keluar dibanding shaft/barisan untuk umat umum.  Selain itu terdapat mimbar dari kayu yang digunakan pengkhotbah memberikan tauziah di saat 2 khotbah jum'at, kuliah subuh, kultum dan khotbah-khotbah lain

Mihrab dan mimbar

 Pada bagian utama ini kerangka atap tak terlihat karena tertutup eternit.  Terdapat sejumlah saka yang menopang langit-langit, yaitu 4 saka guru dan 12 saka ruwa (luar) yang berbentuk bulat atau glondhongan, bukan bersudut.  



Ornamen pada sambungan blandar di rangka atap sungguh unik.  Meskipun tidak bermotif bunga atau sulur daun pada umumnya ukiran di Jawa, tapi tetap saja bagian-bagian ini tidak dibiarkan polos begitu saja.  Garis-garis dan pola geometris menjadi pilihan untuk mempercantik dan dibubuhkan warna cat yang berbeda, yaitu biru lembut untuk meningkahi kuning, membuatnya terlihat istimewa dan berbeda.  Bagaimanapun, masjid milik PA ini ditandai dengan sentuhan seni yang lebih dibandingkan masjid-masjid di sekitarnya yang polos dan sederhana.



Masjid ini sangat khas Jawa, dengan atap tajuk dan mustaka berbentuk sulur dan daun-daunan, bukan kubah bawang khas Timur Tengah. Mustaka seperti ini bisa dijumpai di masjid-masjid tua lainnya di Jogjakarta, seperti masjid-masjid Pathok Nagoro milik Kasultanan Yogyakarta. 

Atap tajuk dan mustaka


Bangunan dengan cat kuning yang warnanya persis Masjid Pakualaman di sebelah barat Puro Pakualaman ini tidak dilengkapi dengan menara TOA untuk mengumandangkan adzan panggilan sembahyang. Tanda waktu sembahyang diperdengarkan kepada masyarakat sekitar cukup dengan menggunakan bedug dan kentongan yang ditabuh.



Terdapat serambi yang luas tempat di mana bedug dan kentongan diletakkan.  Bagian yang lebih terbuka ini juga menjadi ciri khas masjid-masjid tua di Jogjakarta.  Masjid Gedhe Mataram di Kotagede, Masjid Gedhe Kauman Jogjakarta, Masjid Saka Tunggal di Tamansari dan masjid-masjid pathok nagoro yang tersebar di empat arah mata angin, semua memiliki serambi.
kerangka atap serambi
Pintu utama ruang utama dari arah serambi

Kamis, 04 Juli 2013

Terimakasih untuk setiap pertemuan kembali ..

Juni 2013, adalah bulan penuh haru biru dengan luapan kenangan.  Pertemuan dengan orang-orang dari masa lalu mendadak terkumpul di akhir bulan Juni.  Mulai dari urusan akademik ke kampus Bulaksumur yang telah 10 tahun kutinggalkan, di minggu terakhir.  Menyusuri jalanan yang diapit gedung-gedung baru itu membuatku kesulitan merasa nyaman bahwa aku berasal dari sana dan pernah menjadi bagian dari kampus ini.  Sungguh asing dan aku alien.  

Di minggu terakhir itu pula, pertemuan dengan sahabat lama yang kini tinggal di Surabaya membuat gairah.  Memang jeda tak bertemu hanya berjarak 2 tahun sejak kami nongkrong di Starbuck di Amplaz.  Tapi seorang balita yang imut telah berubah menjadi seorang kakak untuk seorang bayi lucu.  Ya, seorang anak telah lahir di sela dua tahun itu.  Telah genap dua anak lahir dari rahim sahabat sejak SMA itu.  Hanya rasa syukur yang muncul melihat keluarga kecil itu.  Apalagi?  Dia bahagia, aku bersyukur.

Q-thien, aku mengenalnya sebagai anak pindahan dari kota lain.  Kami baru bertemu saat disatukan dalam kelas 2 A3-1, baca dua sos satu.  Entah bagaimana ceritanya, tiba-tiba kami sudah terikat satu sama lain dengan 6 anak lainnya.  Ikatan itu kami beri nama Gank_8, kelompok kecil terdiri dari 8 anak perempuan dari berbagai kelas.  Masing-masing kami buatkan nama panggilan baru yang membuat ikatan menjadi semakin kuat. Q-thien untuk Christin, Mhoniq untuk Priestasari, 'Ve untuk Silvia, Rara' untuk Faradilla, Uni' utuk Santi, Mayonk untuk Umaya, Pia' untuk Dian dan Fi' untuk diriku.  Semua diambil dari sedikit penggalan nama asli kami.

Kehidupan masa remaja menjadi begitu dinamis dan menyenangkan.  Ini menjadi salah satu bagian terbaik dalam hidupku.  Tak selalu manis, kadang nakal.  Tapi kami diajarkan tentang bagaimana menjadi teman dan bagaimana ditemani.  Melalui masa remaja bersama mereka adalah petualangan yang menyenangkan.  Sampai saat ini, jika aku mengingat semuanya dan mereka, ada rasa syukur yang tak pernah cukup sebab persahabatan ini.

Tahun-tahun berganti begitu cepat.  Tangan-tangan nasib telah mengambil kami satu per satu dari ikatan fisik.  Masing-masing dari kami pergi lalu bergelut dengan kehidupan di tempat yang berbeda.  Sesekali kabar mengenai keberadaan dan keadaan beredar dari mulut ke mulut atau dari sms ke sms.  Lega mengukir senyum jika mendapati kabar bahwa semua baik-baik saja.  Tapi kadang tangis tak bisa ditahan saat menerima kabar sedih menimpa salah seorang dari kami.  Perstiwa buruk padanya tapi tangis di hati kami.  Life, is about up and down.  Semua yang hidup mengalaminya.  Jika tangan tak membantu, hanya doa yang mampu menembus keterbatasan dan keterpisahan kami.

Aku bisa mengatakan bahwa petualanganku bermula saat bersama mereka.  Keberanian dan percaya diri tumbuh saat itu.  Beberapa tempat yang asing dan jauh dari rumah kami datangi dengan berani.  Itulah saat aku merasa menjadi manusia dewasa yang sudah semestinya mengenal lingkungan lain, tidak hanya sekolah dan rumah.  Bersama mereka, aku 'keluar' dari dunia kecilku.

Well, pertemuan dengan sahabat lama mungkin hal sepele.  Tapi aku memberi makna lebih pada setiap pertemuan-pertemuan dengan mereka yang berasal dari masa lalu.  Merekalah yang bisa membantu mengenali diriku sendiri dengan sangat baik.  Sebab, pada moment ini, aku kembali melihat diriku ke belakang sekaligus mencermati diriku saat ini.  Seberapa jauh aku meninggalkan masa lalu itu?   Seberapa banyak aku berubah?  

Terimakasih untuk setiap pertemuan kembali ..






Mencari keping kenangan di kampus Fisipol Bulaksumur

Bulan Juni 2013, diakhiri dengan putaran kembali peristiwa-peristiwa yang semula terlipat rapi di sudut kenangan.  Well ya, masa lalu memang tak pernah selamanya pergi.  Ada keping-keping yang meski berserakan, masih bisa bercerita tentang apa saja yang telah dialami.  Jika cukup rendah hati untuk mengakui, setiap keping kejadian yang telah menjadi kenangan adalah biji puzzle yang membentuk kita seutuhnya menjadi seperti sekarang ini.  

Untuk suatu keperluan akademis, paling tidak tiga hari aku kembali ke kampus selama akhir bulan lalu itu.  Tiga hari merasa hilang di kampus yang telah 10 tahun aku tinggalkan sejak lulus.  Gedung-gedung baru yang menjulang, penataan baru, karyawan-karyawan yang tak lagi kukenali, semua serba baru.  Semula aku antusias karena akan bernostalgia, tapi setelah berada di sana, aku tidak lagi bisa merasakan bahwa aku pernah menjadi bagian dari kampus ini.  Sungguh, tak ada lagi kenangan kejadian atau ingatan tentang teman-teman yang bisa kuambil dari sudut-sudutnya.

Lobby HI. Betapa aku merindukannya.  Betapa aku kecewa, teras sejuk itu telah berubah menjadi bagian gedung baru berlantai banyak.  Plaza Sospol juga sudah dihancurkan.  Patung keluarga yang sedang belajar itu sudah berpindah posisi.  Pohon-pohon ketapang yang memayungi bangku-bangku beton tempat diskusi atau sekedar mengobrol sudah ditebang.  Tapi yang paling membuat asing adalah ruang administrasi dan kantor dosen-dosen HI.  Berada di lantai 3 sayap barat yang tersekat-sekat.  

Tak pernah membayangkan aku akan menemui mas Edi, kesayangan kami dalam urusan administrasi, Pak Dafri -dosen pembimbing skripsi atau Pak Mochtar -dosen wali, dalam ruang-ruang sempit.  Lift sunyi dan dingin dari lantai dasar mengangkatku menuju lorong sepi.  Super ngelangut!  Mana derap langkah-langkah mahasiswa? Mana gelak canda mereka, seperti yang seringkali kami lakukan dulu?  Mana dengung mereka yang riuh berdebat di bawah pohon ketapang atau cukup lesehan di lantai koridor? 

Tidak seperti dulu, Mas Edi tidak lagi bisa menjawab pertanyaanku dan beberapa mahasiswa yang mencari dosennya, apakah sudah datang atau belum.  Sebab dosen berkantor terpisah dan masing-masing menempati bilik-biliknya sendiri.  Tak ada lagi acara menguping pembicaraan para dosen, sebab tak ada lagi acara mengobrol dalam ruangan.  Ya, masing-masing sibuk dan fokus dengan pekerjaannya sendiri dalam kotak-kotak yang membatasi mereka dari segala sesuatu di luar dirinya.

Aku berhasil menemui Pak Dafri, dan mendapatkan tanda-tangan beliau untuk surat rekomendasi.  Beliau masih persis seperti yang aku ingat, gaya dan bicaranya tetap sama.  Hanya tubuhnya menggemuk sedikit.  Kutinggalkan ruangan beliau dengan ucapan terimakasih untuk apa yang telah diperbuat untukku di masa lalu dan surat rekomendasi ini.  Doa semoga selalu beruntung dan sehat aku ucapkan diam-diam dalam hati.

Di ruang administrasi, aku bertemu Pak Mochtar Mas'oed, dosen wali yang sering aku kejar sampai ke Gedung PAU untuk urusan KRS.  Hanya bertegur sapa secukupnya, sebab beliau sibuk mengatur napas setelah naik dari lantai dasar.  Ahh, semoga Pak Mochtar selalu sehat, hanya itu yang bisa kuucapkan setelah beliau meminum teh-nya dan meninggalkan ruangan. 

Aku meninggalkan kampus dengan perasaan yang dingin.  Antusiasme telah lenyap, meskipun masih sempat aku mencari secuil kenangan di beberapa titik yang mestinya ada.  Tapi tak ada sedikitpun kutemui sudut-sudut nostalgic di sana.  Life is about moving on.  Hidup adalah melulu bergerak.  Dan kenangan kadang tak pernah mendapat tempat dalam setiap gerakan.








Senin, 01 Juli 2013

Gema Paritta di Candi Banyunibo

Puja Bhakti di bilik utama Candi Banyunibo, Minggu 30 Juni 2013

Alunan Paritta Suci telah menggaung saat aku tiba di halaman candi.  Gemanya menembus lubang-lubang angin mencapai pelataran menyambut kakiku menapak di hitam batu candi.  Kulepas alas kaki sebelum menaiki 15 anak tangga yang dijaga sepasang binatang air mitologis, makara.  Puluhan pasang sandal dan sepatu berbaris rapi di sisi kiri tangga, jumlah peserta Puja Bhakti cukup banyak rupanya. 

Aku terlambat datang.  Seorang pembicara yang masih terhitung belia tengah menyampaikan adab muda-mudi berpacaran.  Penyampaiannya segar dan seringkali membuat peserta yang hadir terkikik karena diselipi humor yang lucu.  Semenit kemudian aku tahu, ini pembicaraan tentang bagaimana muda-mudi Buddhis mestinya bersikap terhadap hidupnya.  Baru sekali ini aku tahu bahwa dalam ajaran ini juga diturunkan hal-hal praktis dalam keseharian, tidak hanya mengenai 'kelekatan', satu hal yang aku ambil selama berhubungan dengan umat ini.

Sebelum Puja Bhakti diakhiri dengan pembacaan Paritta Suci, kantung berwarna merah beredar kepada para umat yang berkehendak untuk berdana.  Sebuah lagu berkaitan dengan 'berdana' dinyanyikan seluruh umat selama kantung merah berkeliling.  Terdapat 3 hal yang mesti diingat umat sebelum, di saat dan sesudah berdana, yaitu : 

Sebelum berdana merasa senang dan bahagia.
Pada waktu berdana merasa senang dan bahagia.
Sesudah berdana merasa senang dan bahagia

Puja Bhakti ditutup dengan pembacaan Paritta dalam bahasa Pali oleh seorang perempuan yang duduk tepat di bawah altar utama.  Suaranya yang indah mengalun menciptakan gema syahdu membumbung ke langit-langit candi dan berputar-putar mencapai telinga-telinga para umat.   Mereka menirukan bersama-sama.  Seketika, ada rasa haru terselip di hatiku.  Candi tua ini hidup kembali.  Mereka, muda-mudi Buddhis telah menghidupkan candi ini dengan alunan Paritta Suci yang mungkin sudah terlalu lama tidak menyentuh dinding-dindingnya yang dingin. 

Paritta Suci

Aku membayangkan masa lalu yang tak pernah aku lihat.  Aku hanya menduga, candi ini berfungsi seperti ini, sebagai tempat menaikkan puja dan harapan.  Serta mengingat Sang Guru -Buddha Gautama,  yang telah mengajarkan apa yang telah dialami selama hidup dalam pencarian cerah. Entah sejak kapan candi ini kehilangan makna, menjadi hanya sekedar dilihat, dipegang dan dipotret untuk berbagai kepentingan.  

Bilik utama mestinya terdapat altar dan Buddharupang sebagai simbol kehadiran Guru saat ajaran-ajaran kembali diturunkan kepada umat.  Langit-langit meruncing di puncak menghasilkan akustik ruangan yang mampu menciptakan gumam Paritta mengalun indah.  Lubang berbentuk persegi di ketiga sisi candi mengantarkan angin, menjadikan umat betah berlama-lama di dalam ruangan karena merasakan sejuk.  Bersama angin, cahaya matahari leluasa menghujani ruangan melalui lubang-lubang persegi tersebut.  Setiap kata dan kalimat di dalam kitab-kitab dapat dibaca jelas karenanya.  Sungguh ruangan ini ideal untuk beribadah, tapi tak ada lagi Puja Bhakti dilakukan setelah sekian lama candi ini kehilangan makna sesungguhnya.

Siang itu, Minggu 30 Juni 2013, Paritta mengalun kembali.  Candi itu hidup.  Begitu juga spirit-spirit lama yang menempel pada dinding batu yang dingin, lembab dan tua.  Semoga mereka semua berbahagia.  

Sabbe satta bhavantu sukhitatta _/\_

Candi Banyunibo



Catatan mama :
- Candi Banyunibo terletak di Dusun Cepit, Desa Bokoharjo, Kecamatan Prambanan, Sleman Jogjakarta, tak jauh dari lokasi Candi Ratu Boko.  Dibangun sekitar abad 9 pada masa Kerajaan Mataram Kuno.  Bangunan yang masih bisa dilihat ini sebenarnya bukan satu-satunya, karena terdapat 6 runtuhan candi perwara (pendamping) yang berada di sisi timur dan selatan.  

Candi Banyunibo


- Candi Banyunibo memiliki stupa di puncaknya, merupakan ciri yang paling mudah dikenali dari tipe Buddhis.  Atapnya yang melandai sangat unik dan tidak banyak bisa dijumpai di candi-candi lain.  
- Lubang angin sekaligus penghantar cahaya berjumlah 6 buah membuat candi ini memiliki bilik utama yang sejuk, segar dan tidak gelap. 
- Di dinding dalam terdapat relief yang tidak lengkap.  Begitu juga di kedua sisi lorong masuk, relief Ibu Haritti dengan banyak anak itu sebagian sudah rusak, tak selengkap yang ditampilkan Candi Mendut.  Sementara dinding luar, terdapat banyak ceruk-ceruk berisi relief Bodhisatwa yang anggun dan berlekuk indah.  Sekujur tubuh candi dihias dengan pahatan  sulur-sulur tanaman dan ukiran berbagai macam binatang.

Relief Haritti