Selasa, 23 Juli 2013

Masjid Trayu: Pathok Agama Pura Pakualaman

Siang itu perjalanan diarahkan ke sisi barat Jogjakarta, menyeberangi Sungai Progo, yaitu menuju sebuah kabupaten di Daerah Istimewa Yogyakarta yang dinamai sesuai kondisi geografisnya, Kulonprogo yang artinya barat Progo.  Letaknya memang di sebelah barat Sungai Progo yang berhulu di Gunung Sumbing, mengalir ke tenggara menyusuri lembah Pegunungan Menoreh hingga bermuara di Laut Selatan Jawa.   Sungai ini menjadi batas alami antara Kabupaten Sleman dan Kabupaten Kulonprogo.  

Destinasi kali ini adalah sentra kerajinan dari serat agel yang mulai bangkit kembali di Sentolo, industri rumahan batik Kolonprogo dengan motif khasnya yaitu Gebleg Renteng di Sembung, menilik Yoni dan makam Jaka Tarub di desa Taruban, mengunjungi rumah bergaya Indisch di daerah bekas pabrik gula peninggalan kolonial di Galur, dan sebuah masjid tua milik Yayasan Pura Pakualaman.  Semua berada di wilayah Kabupaten Kulonprogo.

Masjid Trayu, Kauman Tirtorahayu, Galur Kulon Progo, DIY



Tidak diketahui kapan masjid ini dibangun, karena aku tidak menemukan angka tahun penanda masjid ini didirikan.

Dari papan nama yang dipasang, masjid ini milik Yayasan Puro Pakualaman, selanjutnya akan disingkat PA. Lalu timbul pertanyaanku, mengapa ada masjid PA di Kulonprogo yang letaknya jauh dari Puro Pakualaman? Jawaban terkuak setelah bertanya kepada seorang kawan yang sehari-hari bertugas sebagai Pamong Budaya wilayah Kulonprogo dan melanjutkan pencarian lewat google.

Sebuah masjid memang bisa digunakan untuk pathok atau penanda bagi penguasa.  Atau juga pathok sebagai penguat kekuasaan agar selalu legitimate, bahwa pemerintahan yang meskipun pusatnya berada jauh, akan tetap memiliki akar yang kuat di wilayah tersebut.  Pathok Nagoro demikian sebutan yang khas untuk penanda-penanda kekuasaan ini.  Setahuku, Kraton Jogjakarta memiliki 4 masjid pathok nagoro yang tersebar di 4 penjuru mata angin.  Hal ini sekaligus memberikan batas yang jelas atas kekuasaan kraton.  
Tapi untuk masjid Trayu ini, aku belum mengetahui dengan yakin bahwa ini sejenis dengan masjid pathok nagoro.  Tapi jelas ini merupakan pathok agama, di mana Pura Pakualaman menguatkan akarnya di bidang agama, salah satunya dengan masjid untuk masyarakatnya. 

Pada masa pendudukan Inggris, Sunan Solo dan Sultan Yogya dianggap tidak mentaati Perjanjian Tuntang. Hal ini membuat Raffles memaksa Sultan HB II turun takhta digantikan oleh Sultan HB III dengan pengurangan wilayah kekuasaan kasultanan. Sebagian wilayah diberikan kepada kadipaten baru yang berdiri tahun 1813, bernama Pakualaman. Pangeran Notokusumo, putra dari Sultan HB I diangkat menjadi adipati dengan gelar Pangeran Adipati Pakualam I.
Beberapa wilayah yang dibagi untuk PA adalah sebelah selatan Yogyakarta, antara lain Kabupaten Adikarto. Saat ini, Kabupaten Adikarto telah menggabungkan diri dengan Kab Kulon Progo sejak tahun 1951, sesaat setelah PA VIII dan Sultan HB IX menyatakan menjadi bagian dari NKRI.

Kabupaten Adikarto terdiri dari 2 distrik yaitu Kawedanan Galur dan Kawedanan Sogan. Di wilayah Galur inilah, Masjid Trayu berada. Mengapa PA membangun masjid di Trayu, mungkin ada kaitannya dengan asal-usul KGPAA Paku Alam V yang merupakan putra KGPAA Paku Alam II dari Garwo Raden Ayu Resminingdyah yang berasal dari Trayu, Tirtarahayu, Galur. Bisa jadi, masjid ini dibangun pada masa PA V, atau mungkin lebih jauh lagi pada masa PA II? Semoga ada yang bisa menjawabnya hehehehe .. ;)

Terdapat makam Raden Ayu Resminingdyah, garwa dari PA II dan beberapa keluarganya di belakang masjid. Letak makam yang berada di sisi barat masjid adalah ciri yang biasa ada, menjadi bagian dari keseluruhan area masjid tradisional. 


Struktur Masjid
Bangunan terdiri dari serambi dan ruang utama yang memiliki mihrab, ruangan khusus bagi Imam Masjid kala memimpin sembahyang berjama'ah.  Bagian ini selalu lebih menjorok keluar dibanding shaft/barisan untuk umat umum.  Selain itu terdapat mimbar dari kayu yang digunakan pengkhotbah memberikan tauziah di saat 2 khotbah jum'at, kuliah subuh, kultum dan khotbah-khotbah lain

Mihrab dan mimbar

 Pada bagian utama ini kerangka atap tak terlihat karena tertutup eternit.  Terdapat sejumlah saka yang menopang langit-langit, yaitu 4 saka guru dan 12 saka ruwa (luar) yang berbentuk bulat atau glondhongan, bukan bersudut.  



Ornamen pada sambungan blandar di rangka atap sungguh unik.  Meskipun tidak bermotif bunga atau sulur daun pada umumnya ukiran di Jawa, tapi tetap saja bagian-bagian ini tidak dibiarkan polos begitu saja.  Garis-garis dan pola geometris menjadi pilihan untuk mempercantik dan dibubuhkan warna cat yang berbeda, yaitu biru lembut untuk meningkahi kuning, membuatnya terlihat istimewa dan berbeda.  Bagaimanapun, masjid milik PA ini ditandai dengan sentuhan seni yang lebih dibandingkan masjid-masjid di sekitarnya yang polos dan sederhana.



Masjid ini sangat khas Jawa, dengan atap tajuk dan mustaka berbentuk sulur dan daun-daunan, bukan kubah bawang khas Timur Tengah. Mustaka seperti ini bisa dijumpai di masjid-masjid tua lainnya di Jogjakarta, seperti masjid-masjid Pathok Nagoro milik Kasultanan Yogyakarta. 

Atap tajuk dan mustaka


Bangunan dengan cat kuning yang warnanya persis Masjid Pakualaman di sebelah barat Puro Pakualaman ini tidak dilengkapi dengan menara TOA untuk mengumandangkan adzan panggilan sembahyang. Tanda waktu sembahyang diperdengarkan kepada masyarakat sekitar cukup dengan menggunakan bedug dan kentongan yang ditabuh.



Terdapat serambi yang luas tempat di mana bedug dan kentongan diletakkan.  Bagian yang lebih terbuka ini juga menjadi ciri khas masjid-masjid tua di Jogjakarta.  Masjid Gedhe Mataram di Kotagede, Masjid Gedhe Kauman Jogjakarta, Masjid Saka Tunggal di Tamansari dan masjid-masjid pathok nagoro yang tersebar di empat arah mata angin, semua memiliki serambi.
kerangka atap serambi
Pintu utama ruang utama dari arah serambi

Kamis, 04 Juli 2013

Terimakasih untuk setiap pertemuan kembali ..

Juni 2013, adalah bulan penuh haru biru dengan luapan kenangan.  Pertemuan dengan orang-orang dari masa lalu mendadak terkumpul di akhir bulan Juni.  Mulai dari urusan akademik ke kampus Bulaksumur yang telah 10 tahun kutinggalkan, di minggu terakhir.  Menyusuri jalanan yang diapit gedung-gedung baru itu membuatku kesulitan merasa nyaman bahwa aku berasal dari sana dan pernah menjadi bagian dari kampus ini.  Sungguh asing dan aku alien.  

Di minggu terakhir itu pula, pertemuan dengan sahabat lama yang kini tinggal di Surabaya membuat gairah.  Memang jeda tak bertemu hanya berjarak 2 tahun sejak kami nongkrong di Starbuck di Amplaz.  Tapi seorang balita yang imut telah berubah menjadi seorang kakak untuk seorang bayi lucu.  Ya, seorang anak telah lahir di sela dua tahun itu.  Telah genap dua anak lahir dari rahim sahabat sejak SMA itu.  Hanya rasa syukur yang muncul melihat keluarga kecil itu.  Apalagi?  Dia bahagia, aku bersyukur.

Q-thien, aku mengenalnya sebagai anak pindahan dari kota lain.  Kami baru bertemu saat disatukan dalam kelas 2 A3-1, baca dua sos satu.  Entah bagaimana ceritanya, tiba-tiba kami sudah terikat satu sama lain dengan 6 anak lainnya.  Ikatan itu kami beri nama Gank_8, kelompok kecil terdiri dari 8 anak perempuan dari berbagai kelas.  Masing-masing kami buatkan nama panggilan baru yang membuat ikatan menjadi semakin kuat. Q-thien untuk Christin, Mhoniq untuk Priestasari, 'Ve untuk Silvia, Rara' untuk Faradilla, Uni' utuk Santi, Mayonk untuk Umaya, Pia' untuk Dian dan Fi' untuk diriku.  Semua diambil dari sedikit penggalan nama asli kami.

Kehidupan masa remaja menjadi begitu dinamis dan menyenangkan.  Ini menjadi salah satu bagian terbaik dalam hidupku.  Tak selalu manis, kadang nakal.  Tapi kami diajarkan tentang bagaimana menjadi teman dan bagaimana ditemani.  Melalui masa remaja bersama mereka adalah petualangan yang menyenangkan.  Sampai saat ini, jika aku mengingat semuanya dan mereka, ada rasa syukur yang tak pernah cukup sebab persahabatan ini.

Tahun-tahun berganti begitu cepat.  Tangan-tangan nasib telah mengambil kami satu per satu dari ikatan fisik.  Masing-masing dari kami pergi lalu bergelut dengan kehidupan di tempat yang berbeda.  Sesekali kabar mengenai keberadaan dan keadaan beredar dari mulut ke mulut atau dari sms ke sms.  Lega mengukir senyum jika mendapati kabar bahwa semua baik-baik saja.  Tapi kadang tangis tak bisa ditahan saat menerima kabar sedih menimpa salah seorang dari kami.  Perstiwa buruk padanya tapi tangis di hati kami.  Life, is about up and down.  Semua yang hidup mengalaminya.  Jika tangan tak membantu, hanya doa yang mampu menembus keterbatasan dan keterpisahan kami.

Aku bisa mengatakan bahwa petualanganku bermula saat bersama mereka.  Keberanian dan percaya diri tumbuh saat itu.  Beberapa tempat yang asing dan jauh dari rumah kami datangi dengan berani.  Itulah saat aku merasa menjadi manusia dewasa yang sudah semestinya mengenal lingkungan lain, tidak hanya sekolah dan rumah.  Bersama mereka, aku 'keluar' dari dunia kecilku.

Well, pertemuan dengan sahabat lama mungkin hal sepele.  Tapi aku memberi makna lebih pada setiap pertemuan-pertemuan dengan mereka yang berasal dari masa lalu.  Merekalah yang bisa membantu mengenali diriku sendiri dengan sangat baik.  Sebab, pada moment ini, aku kembali melihat diriku ke belakang sekaligus mencermati diriku saat ini.  Seberapa jauh aku meninggalkan masa lalu itu?   Seberapa banyak aku berubah?  

Terimakasih untuk setiap pertemuan kembali ..






Mencari keping kenangan di kampus Fisipol Bulaksumur

Bulan Juni 2013, diakhiri dengan putaran kembali peristiwa-peristiwa yang semula terlipat rapi di sudut kenangan.  Well ya, masa lalu memang tak pernah selamanya pergi.  Ada keping-keping yang meski berserakan, masih bisa bercerita tentang apa saja yang telah dialami.  Jika cukup rendah hati untuk mengakui, setiap keping kejadian yang telah menjadi kenangan adalah biji puzzle yang membentuk kita seutuhnya menjadi seperti sekarang ini.  

Untuk suatu keperluan akademis, paling tidak tiga hari aku kembali ke kampus selama akhir bulan lalu itu.  Tiga hari merasa hilang di kampus yang telah 10 tahun aku tinggalkan sejak lulus.  Gedung-gedung baru yang menjulang, penataan baru, karyawan-karyawan yang tak lagi kukenali, semua serba baru.  Semula aku antusias karena akan bernostalgia, tapi setelah berada di sana, aku tidak lagi bisa merasakan bahwa aku pernah menjadi bagian dari kampus ini.  Sungguh, tak ada lagi kenangan kejadian atau ingatan tentang teman-teman yang bisa kuambil dari sudut-sudutnya.

Lobby HI. Betapa aku merindukannya.  Betapa aku kecewa, teras sejuk itu telah berubah menjadi bagian gedung baru berlantai banyak.  Plaza Sospol juga sudah dihancurkan.  Patung keluarga yang sedang belajar itu sudah berpindah posisi.  Pohon-pohon ketapang yang memayungi bangku-bangku beton tempat diskusi atau sekedar mengobrol sudah ditebang.  Tapi yang paling membuat asing adalah ruang administrasi dan kantor dosen-dosen HI.  Berada di lantai 3 sayap barat yang tersekat-sekat.  

Tak pernah membayangkan aku akan menemui mas Edi, kesayangan kami dalam urusan administrasi, Pak Dafri -dosen pembimbing skripsi atau Pak Mochtar -dosen wali, dalam ruang-ruang sempit.  Lift sunyi dan dingin dari lantai dasar mengangkatku menuju lorong sepi.  Super ngelangut!  Mana derap langkah-langkah mahasiswa? Mana gelak canda mereka, seperti yang seringkali kami lakukan dulu?  Mana dengung mereka yang riuh berdebat di bawah pohon ketapang atau cukup lesehan di lantai koridor? 

Tidak seperti dulu, Mas Edi tidak lagi bisa menjawab pertanyaanku dan beberapa mahasiswa yang mencari dosennya, apakah sudah datang atau belum.  Sebab dosen berkantor terpisah dan masing-masing menempati bilik-biliknya sendiri.  Tak ada lagi acara menguping pembicaraan para dosen, sebab tak ada lagi acara mengobrol dalam ruangan.  Ya, masing-masing sibuk dan fokus dengan pekerjaannya sendiri dalam kotak-kotak yang membatasi mereka dari segala sesuatu di luar dirinya.

Aku berhasil menemui Pak Dafri, dan mendapatkan tanda-tangan beliau untuk surat rekomendasi.  Beliau masih persis seperti yang aku ingat, gaya dan bicaranya tetap sama.  Hanya tubuhnya menggemuk sedikit.  Kutinggalkan ruangan beliau dengan ucapan terimakasih untuk apa yang telah diperbuat untukku di masa lalu dan surat rekomendasi ini.  Doa semoga selalu beruntung dan sehat aku ucapkan diam-diam dalam hati.

Di ruang administrasi, aku bertemu Pak Mochtar Mas'oed, dosen wali yang sering aku kejar sampai ke Gedung PAU untuk urusan KRS.  Hanya bertegur sapa secukupnya, sebab beliau sibuk mengatur napas setelah naik dari lantai dasar.  Ahh, semoga Pak Mochtar selalu sehat, hanya itu yang bisa kuucapkan setelah beliau meminum teh-nya dan meninggalkan ruangan. 

Aku meninggalkan kampus dengan perasaan yang dingin.  Antusiasme telah lenyap, meskipun masih sempat aku mencari secuil kenangan di beberapa titik yang mestinya ada.  Tapi tak ada sedikitpun kutemui sudut-sudut nostalgic di sana.  Life is about moving on.  Hidup adalah melulu bergerak.  Dan kenangan kadang tak pernah mendapat tempat dalam setiap gerakan.








Senin, 01 Juli 2013

Gema Paritta di Candi Banyunibo

Puja Bhakti di bilik utama Candi Banyunibo, Minggu 30 Juni 2013

Alunan Paritta Suci telah menggaung saat aku tiba di halaman candi.  Gemanya menembus lubang-lubang angin mencapai pelataran menyambut kakiku menapak di hitam batu candi.  Kulepas alas kaki sebelum menaiki 15 anak tangga yang dijaga sepasang binatang air mitologis, makara.  Puluhan pasang sandal dan sepatu berbaris rapi di sisi kiri tangga, jumlah peserta Puja Bhakti cukup banyak rupanya. 

Aku terlambat datang.  Seorang pembicara yang masih terhitung belia tengah menyampaikan adab muda-mudi berpacaran.  Penyampaiannya segar dan seringkali membuat peserta yang hadir terkikik karena diselipi humor yang lucu.  Semenit kemudian aku tahu, ini pembicaraan tentang bagaimana muda-mudi Buddhis mestinya bersikap terhadap hidupnya.  Baru sekali ini aku tahu bahwa dalam ajaran ini juga diturunkan hal-hal praktis dalam keseharian, tidak hanya mengenai 'kelekatan', satu hal yang aku ambil selama berhubungan dengan umat ini.

Sebelum Puja Bhakti diakhiri dengan pembacaan Paritta Suci, kantung berwarna merah beredar kepada para umat yang berkehendak untuk berdana.  Sebuah lagu berkaitan dengan 'berdana' dinyanyikan seluruh umat selama kantung merah berkeliling.  Terdapat 3 hal yang mesti diingat umat sebelum, di saat dan sesudah berdana, yaitu : 

Sebelum berdana merasa senang dan bahagia.
Pada waktu berdana merasa senang dan bahagia.
Sesudah berdana merasa senang dan bahagia

Puja Bhakti ditutup dengan pembacaan Paritta dalam bahasa Pali oleh seorang perempuan yang duduk tepat di bawah altar utama.  Suaranya yang indah mengalun menciptakan gema syahdu membumbung ke langit-langit candi dan berputar-putar mencapai telinga-telinga para umat.   Mereka menirukan bersama-sama.  Seketika, ada rasa haru terselip di hatiku.  Candi tua ini hidup kembali.  Mereka, muda-mudi Buddhis telah menghidupkan candi ini dengan alunan Paritta Suci yang mungkin sudah terlalu lama tidak menyentuh dinding-dindingnya yang dingin. 

Paritta Suci

Aku membayangkan masa lalu yang tak pernah aku lihat.  Aku hanya menduga, candi ini berfungsi seperti ini, sebagai tempat menaikkan puja dan harapan.  Serta mengingat Sang Guru -Buddha Gautama,  yang telah mengajarkan apa yang telah dialami selama hidup dalam pencarian cerah. Entah sejak kapan candi ini kehilangan makna, menjadi hanya sekedar dilihat, dipegang dan dipotret untuk berbagai kepentingan.  

Bilik utama mestinya terdapat altar dan Buddharupang sebagai simbol kehadiran Guru saat ajaran-ajaran kembali diturunkan kepada umat.  Langit-langit meruncing di puncak menghasilkan akustik ruangan yang mampu menciptakan gumam Paritta mengalun indah.  Lubang berbentuk persegi di ketiga sisi candi mengantarkan angin, menjadikan umat betah berlama-lama di dalam ruangan karena merasakan sejuk.  Bersama angin, cahaya matahari leluasa menghujani ruangan melalui lubang-lubang persegi tersebut.  Setiap kata dan kalimat di dalam kitab-kitab dapat dibaca jelas karenanya.  Sungguh ruangan ini ideal untuk beribadah, tapi tak ada lagi Puja Bhakti dilakukan setelah sekian lama candi ini kehilangan makna sesungguhnya.

Siang itu, Minggu 30 Juni 2013, Paritta mengalun kembali.  Candi itu hidup.  Begitu juga spirit-spirit lama yang menempel pada dinding batu yang dingin, lembab dan tua.  Semoga mereka semua berbahagia.  

Sabbe satta bhavantu sukhitatta _/\_

Candi Banyunibo



Catatan mama :
- Candi Banyunibo terletak di Dusun Cepit, Desa Bokoharjo, Kecamatan Prambanan, Sleman Jogjakarta, tak jauh dari lokasi Candi Ratu Boko.  Dibangun sekitar abad 9 pada masa Kerajaan Mataram Kuno.  Bangunan yang masih bisa dilihat ini sebenarnya bukan satu-satunya, karena terdapat 6 runtuhan candi perwara (pendamping) yang berada di sisi timur dan selatan.  

Candi Banyunibo


- Candi Banyunibo memiliki stupa di puncaknya, merupakan ciri yang paling mudah dikenali dari tipe Buddhis.  Atapnya yang melandai sangat unik dan tidak banyak bisa dijumpai di candi-candi lain.  
- Lubang angin sekaligus penghantar cahaya berjumlah 6 buah membuat candi ini memiliki bilik utama yang sejuk, segar dan tidak gelap. 
- Di dinding dalam terdapat relief yang tidak lengkap.  Begitu juga di kedua sisi lorong masuk, relief Ibu Haritti dengan banyak anak itu sebagian sudah rusak, tak selengkap yang ditampilkan Candi Mendut.  Sementara dinding luar, terdapat banyak ceruk-ceruk berisi relief Bodhisatwa yang anggun dan berlekuk indah.  Sekujur tubuh candi dihias dengan pahatan  sulur-sulur tanaman dan ukiran berbagai macam binatang.

Relief Haritti


 




Rabu, 19 Juni 2013

Sensasi Bubuk Kopi dan Gula di Ujung Lidah

: based on true story

Gadis cilik itu merasa perlu bergegas bangun saat rumah Mbah Ibu mulai gaduh di pagi hari.  Rumah yang hanya didatanginya saat liburan sekolah itu riuh dengan suara ayam di kandang belakang rumah atau suara solet dan penggorengan beradu di pawon.  Suasana pagi rumah di desa seperti ini selalu berhasil membangunkan tidurnya yang lelap dan lama.  

Setelah pipis, biasanya dia berlarian menuju pekarangan depan rumah Mbah Ibu -istri sambungan Almarhum Simbah Kakung setelah istri pertama meninggal saat bapak belum genap menjadi remaja.  Kaki-kaki kecilnya berhenti di sekitar salah satu dari beberapa batang pohon kopi.  Di bawahnya, dia akan betah berlama-lama.  Pagi hari adalah saat bunga-bunga kopi yang berwarna putih itu menebarkan bau wanginya ke segala arah.  Gadis cilik itu mabuk wangi bunga kopi.

Perkenalannya dengan biji kopi memang dimulai sejak kecil.  Dia mengenali pohonnya yang lebih tinggi dari tubuhnya, daunnya yang lebar, bunganya yang wangi, dan butir-butir hijau yang menguning lalu menjadi merah.  Mbah Ibu mengumpulkan butir-butir itu di tampah, menjemurnya hingga menghitam karena kering.  Beberapa kali gadis cilik itu melihat nenek yang dipanggilnya Mbah Ibu itu menyangrai biji-biji hitam menggunakan penggorengan dari gerabah di atas tungku.  Sekali lagi, wanginya membuatnya mabuk. 

Selanjutnya Mbah Ibu akan menumbuk sendiri biji-biji yang gosong itu menjadi bubuk.  Menuangkan ke dalam toples kaca bertuliskan KOPI lalu merapatkan tutupnya yang merah.  Toples kopi telah penuh kembali.  Dan akan segera habis setelah ibu, bapak, para paklik, mbokdhe dan Mbah Ibu sendiri mengambilnya sesendok demi sesendok.  Pagi, siang, sore, hingga malam hari mereka terus mengambilnya, hingga se-toples kopi itu tak pernah tahan hingga seminggu.

Jadi, jangan salahkan pergaulan jika akhirnya gadis cilik itu begitu menikmati kopi.  Karena budaya minum kopi telah disaksikannya sepanjang waktu sejak masa kecil.  Semula memang hanya menyaksikan seluruh isi rumah Mbah Ibu menyeduh kopi dan menikmatinya dalam segala suasana.  Sampai akhirnya dia tak hanya melihat tapi juga merasakan sendiri bagaimana pekat kopi mulai menimbulkan sensasi di mulut dan kerongkongannya.  

Saat itu, di rumah bapak ibunya di kota.  Setiap pagi, ibu selalu menjerang air panas untuk mengisi termos.  Sambil menunggu air mendidih, ibu menyiapkan dua buah gelas yang diisi gula dan bubuk kopi.  Segelas untuk bapak dan segelas lainnya untuk ibu sendiri, yang akan diminum sebelum berangkat kerja.  Setelah menyiapkan itu, ibu akan pergi mandi yang selesainya tepat saat air dalam ceret mendidih.  Ibu mengisi penuh-penuh termos berwarna merah dan sisanya untuk memenuhi dua gelas kopi yang telah menunggu tadi.  

Nah, saat ditinggal mandi itulah si gadis cilik itu biasanya mengaduk bubuk kopi dan gula di dalam gelas agar tercampur dengan sendok teh.  Dan, sluurp! Lidahnya menjilat ujung sendok yang penuh dengan bubuk kopi serta gula.  Campuran itu menempel di lidah, lalu dikulum hingga perlahan gula mencair.  Manis.  Juga pahit.  Tapi dia suka dan sering sekali mengulangnya jika tidak ketahuan bapak.  Karena bapak akan melarangnya melakukan itu. Gadis cilik itu mabuk bubuk kopi dan gula!

Maka, sekali lagi jangan salahkan jika akhirnya pada saat dia dewasa, paduan wangi bubuk kopi dengan warnanya yang pekat dan rasa yang getir itu memabukkannya.  Berbagai macam kreasi penyajian kopi telah dicoba, dan hanya secangkir kopi hitam yang tidak pernah mengecewakan seleranya.  Semakin dewasa, takarannya semakin paten, tak pernah berubah.  Satu sendok penuh bubuk kopi (menggunung) dan dua sendok peres gula (datar) untuk satu cangkir kecil air panas.  Ya, air panas, bukan air mendidih yang langsung dituangkan ke dalam cangkir.  Perlu semenit atau dua untuk mendiamkan agar menghasilkan air panas yang tidak membuat bubuk kopi berasa gosong. 

Takaran memang bisa saja berubah-ubah menyesuaikan dengan asal kopinya.  Tapi, sejak berumur 34 tahun, takaran ini sudah sangat dia percaya mampu mengatasi seleranya meskipun bubuk kopi yang ditakar berasal dari berbagai daerah.  Seorang teman yang juga peminum kopi, berasal dari Bali, membagikan resep cara menyeduh secangkir kopi yang enak.  Biasanya takaran ini berhasil untuk setiap jenis kopi dari manapun, katanya.  Dan benar, seleranya sama! Satu sendok bubuk kopi dan dua sendok gula untuk secangkir kecil kopi yang pas, sedikit sensasi manis dalam getir kopi.

1 kopi 2 gula !





Minggu, 16 Juni 2013

Bangsa Khmer Menyelamatkan Teks

Bagaimana setiap generasi terhubung? 
Salah satunya adalah melalui teks.

Ada kesedihan saat catatan elektronik yang kubuat lenyap, tanpa back-up, saat laptop lamaku itu tiba-tiba mati selamanya.  Peristiwa-peristiwa selama dua tahun yang telah kuubah dalam teks yang hilang itu menjadi pemutus jejak, a missing link.

Kasus seorang teman, bumi seperti terbalik ketika mendadak laptopnya tidak mau bekerja.  Rumusan masalah dan analisa  yang menghabiskan 3 hari kerja otak, lenyap! Dunia terasa gelap, sebab kini harus meraba-raba kembali setiap tahap yang telah dikerjakan.  Memanggil sepenuhnya ingatan untuk menyusun kembali data yang telah hilang.
Hampir semua orang pernah mengalaminya.  Kehilangan data, cerita, kenangan, apapun itu, selalu menghadirkan kekosongan yang menyedihkan. 
Mari melangkah surut, pada 3 dari sekian banyak peristiwa yang mengingatkan bagaimana rasa kehilangan mendalam sejumlah teks penghubung antar generasi. 

# 13 Oktober 1965, pembakaran data dan karya Pramoedya Ananta Toer. 
Kabarnya, dia membawa dendamnya hingga meninggal pada tentara, saat kliping tentang Indonesia yang telah dikumpulkan selama belasan tahun dibakar bersama dengan beberapa karya teks-nya.  Dia sudah mengiba pada tentara agar tidak membakar, tapi menyerahkan kepada arsip negara untuk disita atau disimpan.  Tidak untuk dimusnahkan. Tapi tetap, api menghabiskan data dan karya teks Pramoedya.

Mundur lagi ke belakang.

# 1812, Geger Sepehi/Sepoy.  
Saat itu Inggris dibawah Raffles menyerang Keraton Yogyakarta pada masa jumeneng Sultan HB II.  Pasukan Gurka utusan Inggris berhasil membobol Keraton dan merampas kekayaaan yang dimilikinya saat itu, termasuk manuskrip-manuskrip kuno.  Seperti yang dikatakan Sultan HB X, waktu itu, setiap hari sekitar lima gerobak naskah kuno diambil selama satu minggu berturut-turut dan dibawa ke London. Naskah itu berisi tentang tari-tarian ataupun karya-karya pujangga keraton. Lebih dari 7.000 judul naskah kuno Keraton Yogyakarta dibawa ke Inggris sehingga manuskrip kuno pada masa HB I dan HB II nyaris hilang. Saat ini, di Perpustakaan Widya Budaya Keraton Yogyakarta tersisa 363 naskah (Kompas, 7 Agustus 2010).

Jauh lagi ke belakang, ratusan tahun lalu.

# Abad 12, Angkor Wat, Cambodia.  
Budaya menulis bangsa Khmer di Cambodia bisa disaksikan dari bekas bangunan perpustakaan yang ada di  Angkor. Gedung perpustakaan selalu dibangun sepasang, baik itu di Angkor Wat, di kompleks Bayon di Bapuon, maupun di Banteay Srei.  Diduga, dalam bangunan yang terpisah dari candi utama inilah manuskrip-manuskrip kuno bangsa Khmer disimpan dalam bentuk teks di atas lontar.  Saat ini kita hanya bisa menyaksikan bangunan perpustakannya saja, sebab semua lontar yang hanya bisa bertahan 100-150 tahun itu telah hancur dimakan usia dan musnah karena berbagai sebab.  

Manuskrip kuno di atas lontar.  Inilah lembar ramalan tentang aku dari seorang peramal di ruang utama Angkor Wat.

Agak melegakan saat mengunjungi candi-candi itu dan mendapati manuskrip-manuskrip kuno dipahat di dinding dan pilar-pilar.  Aku trenyuh sendiri saat meraba huruf-huruf Pali, Sanskrit dan juga bahasa Khmer diukir halus dan rapi di batu. Bangsa Khmer kuno mengukirkan inskripsi pada batu-batu keras yang abadi tentang  pengetahuan, cerita kehidupan sehari-hari, catatan peristiwa besar serta mantra-mantra pemujaan kepada para dewa dan raja.  Mereka telah menyelamatkan teks! Betapa mereka telah menghubungkan setiap generasi sejak ratusan tahun lalu.  

Salah satu pilar di Angkor Wat

Inskripsi di dinding pintu Keone Wat

Inskripsi di dinding Elephant Terrace, kompleks Angkor

Gedung perpustakaan sisi selatan area Angkor Wat dan seorang bikku duduk di pintu masuk.



Rabu, 12 Juni 2013

Antara Aku, Bapak dan Pramoedya Ananta Toer

Buku-buku yang dipilih bapak dari rak bukuku

 Akhir pekan lalu, bapak bersama ibu datang dan menginap di rumah.  Dengan menyetir mobil sendiri dari Magelang merupakan tanda bahwa bapak sehat dan bersemangat. Pertemuan keluarga seperti biasa diwarnai dengan tukar menukar cerita kejadian-kejadian selama kami tidak bertemu.  Namun ada yang berbeda kali itu, saat bapak tumben-tumbenan berkenan melihat koleksi buku-bukuku. Beberapa diambilnya, dibaca judul dan mungkin penulisnya, lalu membolak-balik satu dua halaman, kemudian dikembalikan ke tempatnya lagi.  Setelah sejumlah buku hanya diperhatikan sekilas, ada 3 buku yang akhirnya dikeluarkan dari rak.  

Buku pertama berjudul 'Jejak Sang Pembangkang' yang ditulis Frigidanto Agung (2004).  Aku tahu, judulnya pasti menarik keingintahuan bapak.  Saat bapak masih berdinas di kesatuan Angkatan Darat, tentu orang-orang dengan predikat pembangkang mungkin akan menempati daftar orang yang harus 'diamankan'.  Kata di-aman-kan, yang menurut Pramoedya Ananta Toer -selanjutnya akan aku sebut Pak Pram-, berarti dianiaya, sama sekali tidak punya sangkut-paut dengan aman dan keamanan.  Demikian pengalaman mengajarkan pada Pak Pram tentang makna 'diamankan', yang dimuat dalam 'Surat Terbuka Pramoedya Ananta Toer kepada Keith Foulcher' di Jakarta pada 5 Maret 1985.

Berikutnya bapak membaca sebuah buku cukup tebal dengan lebih perhatian.  '500 Tahun Timor Loro Sae' yang ditulis Geoffrey C. Gunn (2005) membuat bapak bertahan cukup lama membaca, bahkan dilanjutkan pada keesokan harinya.  Tidak aneh, jika bapak menganggap buku itu penting, mengingat bapak pernah bertugas di sana sekitar tahun 1977-1978.  Timor Timur telah ikut menjalin sejarah dalam kehidupan bapak.  Peristiwa apapun mengenai wilayah yang pernah diperjuangkan dengan darah para prajurit seperti dirinya untuk menjadi propinsi ke-27 RI itu, sangat menarik perhatiannya. Saat aku menulis skripsi di tengah-tengah gejolak Referendum tahun 1999, bapak banyak bertanya mengenai apa yang aku ketahui dan analisa yang kubuat.  Tugas akhir berjudul 'Pengaruh Media Massa dalam Kebijakan Luar Negeri, Studi Kasus Hubungan Indonesia-Australia' itu memang menyeret Timor Timur sebagai elemen dominan yang mewarnai pengambilan kebijakan luar negeri kedua negara bertetangga itu.  Saat itu aku maklum ketika bapak menjadi ikut tegang memantau nasib Timor Timur melalui referendum, merdeka atau tetap menjadi bagian dari Indonesia.  Jika Timtim -begitu bapak selalu menyebut Timor Timur- merdeka, aku bisa merasakan kesia-siaan bapak pernah mengesampingkan keluarga saat ditinggal 'berperang'.  
Di sisi lain, logikaku mengatakan bahwa kasus Timor Timur telah berubah menjadi semacam 'entrapment'.  Pemerintah RI telah terjebak untuk terus mempertahankan apa yang telah diperjuangkan sejak 24 tahun lamanya (1975-1999).  Sudah terlalu banyak yang dikorbankan oleh negara ini.   Daripada semua menjadi sia-sia, negara ini terus mempertahankan dengan segala cara, fisik dan diplomasi.  Padahal, sesungguhnya apa yang dipertahankan itu tidak sebanding.  

Terhitung beberapa malam tiap aku meninggalkan kos di Jogja untuk pulang ke rumah, di tengah masa penggarapan skripsi, kuhabiskan dengan berdiskusi dengan bapak mengenai Timor Timur.  Saat itu aku lebih mengenal bapak dari sisi yang tak pernah kuketahui sebelumnya.  Tentang masa kelam saat bertugas yang turut membentuknya menjadi seperti sekarang.  Di antara obrolan serius mengenai perkembangan politik Timor Timur, bapak sesekali menyelipkan kisah-kisah manusiawi para prajurit.  Termasuk diceritakan pula tentang dirinya, seorang militer yang juga memiliki kehidupan sipil, sebagai suami dan bapak dari anak-anaknya, aku dan adikku. 
Waktu itu aku masih berusia 2 tahun dan adikku masih dalam kandungan ibu.  Operasi Seroja namanya, telah memisahkan sementara kami sekeluarga, hingga ibu melahirkan adik prematur.  Berita mengenai tewasnya beberapa prajurit dari kesatuan bapak membuat ibu panik karena tak mendapat kabar apapun mengenai keselamatan bapak.  Adikku satu-satunya itu lahir belum cukup umur tanpa ditunggui bapak yang bertugas di kota Ermera.  Entah apa maksudnya, mungkin untuk mengenang kota itu, nama adikku ditambah dengan Ermerawan di bagian paling belakang.  Saat kembali dari Timtim aku tidak mengenal bapak sama sekali, karena bapak berangkat tugas ketika aku masih terlalu kecil untuk mengingatnya.  Aku tidak mengenal sosok 'bapak' ada dalam keluargaku, sampai bapak pulang dari bertugas.  Pada bagian ini, ibu menambahkan cerita.  Bapak membelikan banyak sekali permen dan mainan agar mudah 'mendekatiku' lalu memberitahuku pelan-pelan bahwa sosok laki-laki asing itu adalah bapakku.

Buku ketiga yang menarik bapak adalah 'Pramoedya Ananta Toer, Dari Dekat Sekali.  Catatan Pribadi Koesalah Soebagyo Toer' (2006).  Aku memperhatikan bapak tak kalah serius membaca buku ini, jika dibandingkan dengan buku Timor Loro Sae tadi.  Semula aku tidak yakin, bapak memang sengaja mengambilnya dari rak karena bapak mengenal nama di judul buku itu, Pak Pram.  Tapi kemudian sungguh aku terkejut saat bapak merasa sudah cukup membaca, meletakkan kaca mata dan buku itu di meja, lalu bercerita kepadaku.
"Orang ini sudah akan ditembak saat turun dari kapal yang membawanya pulang dari Pulau Buru di pelabuhan Semarang." kata bapak.
"Tapi nggak jadi, karena orang ini sudah bebas." lanjut bapak.
"Kenapa Pak Pram mau ditembak?" tanyaku.  Sungguh ini kejutan yang membuatku merinding seketika, bahwa bapak mengenal nama ini, bahkan pernah bertemu langsung dengannya!
"Sebab, saat keluar dari badan kapal, di hadapan kami -para tentara, orang ini berteriak : Hidup PKI!" kata bapakku dengan berteriak dan mengacungkan kepal tangan kanannya ke atas. Kuduga bapak menirukan persis gaya Pak Pram saat meneriakkan itu.  Aku merasakan sedikit getar emosinya.

Duh bapak, anak perempuanmu ini terpikat pemikiran orang yang mau ditembak itu, dan menyimpan beberapa bukunya di rak lain.

Sungkem bapak ..



Senin, 10 Juni 2013

Gerobak kopi di Bangkok




Jalanan Bangkok sangat padat siang itu.  Siang itu?  Tidak hanya siang itu aku yakin tiap hari kota ini pasti selalu hiruk pikuk. Kota ini sangat sibuk dengan perpindahan manusia-manusianya dengan sepeda motor, tuk-tuk, mobil, bis, skytrain, sampai kapal yang menyeberangi sungai yang membelah Bangkok, Chao Phraya.  Suasana mirip kota-kota besar di Indonesia, ramai dan serba tergesa, meskipun jarang terdengar klakson yang mengagetkan dan menyakitkan telinga.  Ya, Bangkok memang berbeda dengan kota-kota lain mengenai klakson ini.  

Dan di siang yang hiruk pikuk, Bangkok tetap menyediakan tempat-tempat sederhana di pinggiran jalannya. Gerobak buah potong, gerobak jus buah dan gerobak kopi.  Dua jenis gerobak yang disebut pertama itu sangat menyelesaikan masalah yang terkait dengan panas dan bisingnya kota Bangkok.  Tapi gerobak kopi?  Menikmati segelas atau secangkir kopi panas di hari yang terik tentu bukan pilihan yang asyik.  Tapi, Bangkok memiliki apapun yang dibutuhkan oleh pengunjungnya.  Siang yang panas di kota sesibuk Bangkok akan terasa sedikit melegakan jika dihadapi dengan es kopi.  Ya, es kopi adalah minuman paling favorit dari sebuah gerobak kopi yang banyak tersebar  di segala penjuru kota itu.

Gerobak kopi di seberang Grand Palace, Bangkok


Kopi yang disajikan dingin dengan es batu bisa jadi memang untuk menjawab kondisi kota Bangkok yang panas.   Efeknya tentu menyegarkan.    Masyarakat setempat biasa menikmati es kopi hitam dengan gula atau dengan susu kental manis, ini racikan yang umum dan dapat ditemui di manapun.   Yup, di manapun.  Sebab gerobak kopi yang menyediakan fresh coffee atau yang bukan kopi instan ini mudah sekali ditemui di sudut-sudut kota Bangkok.  

Fresh Coffee


Seperti juga negara-negara di Asia Tenggara lainnya, Thailand adalah negara peminum teh.  Kebudayaan minum teh lebih tua ketimbang kopi.  Thailand menjadi lebih terbuka dengan kopi saat terseret arus ‘gelombang kopi kedua’ yang melanda secara global.  Kopi yang semula dinikmati di lingkungan domestik atau di dalam rumah dikatakan gelombang kopi pertama.  Kondisi ini bergeser ketika komoditas kopi melonjak saat biji hitam yang mengandung kafein ini ‘keluar’ dari statusnya yang domestik menjadi  minuman sosial.  Kopi hadir menjadi kawan dalam interaksi sosial, dinikmati secara komunal di tempat-tempat publik, yang kemudian kita kenal sebagai kedai kopi.   Gejala ini menggantikan bir dan anggur di negara-negara Eropa.  Kebutuhan akan biji kopi menjadi berlipat dari angka yang tadinya cukup untuk memenuhi kebutuhan kopi di rumah-rumah, kemudian meningkat harus cukup untuk memasok kedai-kedai kopi yang mulai tumbuh.  

Thailand tidak mengalami tanam paksa Van der Bosch pada masa kolonial seperti Indonesia.  Tak ada kisah kelam dalam secangkir kopi di Thailand.  Persentuhan kopi dengan Thailand terlihat lebih manis ketimbang dengan yang terjadi di Nusantara.  Hubungan intim antara Thailand dan kopi  dimulai belum lama, sekitar tahun 1970-an.  Kondisi geografis Thailand merupakan ladang bagus bagi pengembangan kopi untuk menggantikan opium.  Dalam hal ini, PBB turut campur dalam studi kelayakan penggantian opium dengan tanaman lain, dan kopi menjadi kesimpulan yang layak untuk perkara itu.  Pemerintah, dalam hal ini The Royal Project juga menggunakan penanaman kopi ini untuk menyikapi deforesisasi oleh beberapa kelompok etnis lokal yang masih menjalankan pertanian berpindah.  

Sejak itu, kopi ditanam secara massal di dataran-dataran tinggi Thailand untuk sebagian diekspor memenuhi permintaan pasar global dan sebagian lagi untuk memenuhi kebutuhan domestik.  Biji-biji hitam beraroma harum ini bergulir dari pegunungan sejuk di belahan utara dan selatan Thailand, terombang-ambing di timbangan para tengkulak, diolah dan dikurung dalam kemasan-kemasan bermerk, mengendap di kedai-kedai kopi mewah atau gerobak-gerobak kopi pinggir jalan, sebelum akhirnya diracik lalu berada di genggaman para penggemarnya dengan segala cara, gaya dan suasana.  

Thung Tom Kafae, saringan dari kain


Seperti siang itu, secangkir kopi hitam kupesan khusus tanpa susu serta tanpa es kepada ibu peracik yang menjajakan kopi seduhannya di badan trotoar Khaosan Road.   Sambil menyaring bubuk kopi dengan thung tom kafae -semacam saringan kain, diceritakannya padaku bahwa biji kopi itu berasal dari Chiang Rai, pegunungan di utara yang menghasilkan arabika unggulan.  Aku mencermati setiap gerak tangannya dalam menyiapkan kopi pesananku dengan kusyuk.  Sebab dari kedua tangan dan senyum di bibirnya itu secangkir kopi nikmat akan menjadi berkahku siang itu.  Setelah membayarnya dengan koin Baht, aku terima secangkir kopi hitam di cangkir kertas tahan panas dari tangannya.  Kami bertukar senyum paling manis yang kami miliki sebelum si ibu sigap membuat kopi pesanan berikutnya dan aku melanjutkan menelusuri jalanan di Khaosan Road.  Well ya, Bangkok adalah land of smiles, berada di sana dengan secangkir kopi tentu selalu menerbitkan senyum.

Biji kopi dari Chiang Rai


Sumber :






Kamis, 06 Juni 2013

Suwung di balik Slintru

Di sebuah rumah jawa.  Kotagede. 

Aku melintasi regol, seketika sebuah pendapa menghadang pandanganku.  Bangunan tanpa sekat, ruang bagi pemilik rumah untuk terbuka dengan siapapun dan apapun.  Terbuka, karena hanya terbangun dari empat saka guru dan dua belas saka ruwa  menciptakan bayang yang doyong ke barat di atas ubin abu-abu, matahari baru saja naik.  Pendapa itu selain terbuka juga 'terang', tak ada yang tertutup atau ditutupi di sini.

Kuputari pendapa yang memiliki tumpangsari bersusun lima itu dan langsung menuju pringgitan. Ruang antara pendapa dan dalem ageng, tempat di mana seorang dalang biasa melakonkan ringgit atau wayang.  Sesampainya di emper, kuletakkan pantat, duduk, di gigirnya.  Di sini, suasana tak seterang pringgitan apalagi pendapa.  Tembok-tembok tebal yang mengepung emper dari kanan dan kiri menyiutkan cahaya.

Kuintip ruang dalam yang temaram.  Mesti matahari sudah mulai terang, tapi cahayanya tak bisa lebih jauh menembus dalem ageng.  Sepasang jendela berjeruji kayu yang mengapit pintu kayu berbilah dua, tak juga membantu sedikitpun ruang dalam itu mendapatkan sinar dan kehangatan matahari.  Gelap.

Aku bangkit.  Lantai emper yang sedikit lebih tinggi itu membuatku mencincing kain saat menaikinya.  Selembar jarik kawung untuk jiwa yang suwung. Jarik yang ketat membebat tubuh itu menjaga langkah tidak tergesa-gesa dan membuatku memilih berjalan hati-hati daripada wirang karena terjungkal.  Mata memicing untuk dapat melihat semuanya menjadi jelas.  Perlu penyesuaian dari terang ke gelap selama beberapa detik sebelum kemudian dapat melihat satu setel meja kursi kayu, sebuah amben dan dua lemari kayu serta dua buah lampu senthir berkaki, setinggi 1 meter.

Aku berdiri menghadap utara, tepat di depan senthong tengah.  Ini adalah satu-satunya bagian yang tidak tertutup, setidaknya sedikit tertutup dan tak rapat.  Sementara kedua senthong lain di kiwa dan tengen berpintu dan ditutup.  Senthong tengah ini hanya ditutupi slintru, partisi dari bilah-bilah papan dilukis motif cinde yang dirakit menjadi satu.  Aku mengintip dari celah, dan hanya menjumpai gelap.  Serta kosong.

Inilah yang kucari.  Ruang kosong.  Bagian paling sakral dalam rumah tradisional jawa, senthong tengah.  Lantainya sengaja ditinggikan karena ruang untuk manusia dan ruang untuk-Nya ditandai dengan level yang berbeda.  Kegelapan yang juga sengaja diciptakan dengan tanpa memberikan lubang cahaya menggiring penglihatan menjadi buta pada hal-hal yang bendawi.  Atau sebaliknya, gelap membuat penglihatan semakin tajam memindai.  Seperti sunyi yang menajamkan telinga untuk menangkap bisik terhalus, yang biasanya tak terdengar sebab gaduh yang kita buat sepanjang waktu.  Seperti juga sepi yang melahirkan kesadaran akan setiap gerak yang tengah dilakukan.

Suwung, ruang dibalik slintru itu suwung.  Sekarang hanya ada aku dan kekosongan.  Aku dihadapkan pada situasi yang membuatku kerdil.  Kesendirian.  Tidak ada kawan yang menemani dan tak ada lawan yang menyaingi.  Tak ada yang dihadapi.  Lalu apa? Manusiawiku menjadi luruh dalam dudukku simpuh.  Kekosongan menghadirkan-Nya begitu nyata. 

Senthong tengah yang slintru-nya sudah dibongkar, menjadi ruang terbuka dan kini dipakai untuk Sholat

------------

Imajinasi dan perasaan lebay yang campur aduk saat terkesan dengan Senthong Tengah sebuah rumah tradisional Jawa di Kotagede.  Ruang ini sudah dihilangkan atau dialihfungsikan, tidak ada yang menggunakannya lagi sesuai makna saat ruang ini dibangun dulu.

Senthong tengah merupakan ruang inti dari ndalem ageng.  Tidak digunakan untuk tidur atau kegiatan apapun.  Dulu, ruang ini dipersembahkan kepada Dewi Sri yang akan turun memberkati panen, kesejahteraan dan keselamatan penghuni rumah. 

Senthong tengah ndalem Sopingen, Kotagede

Senthong tengah ndalem juragan perak di Purbayan Kotagede

Senthong tengah di Between Two Gates, Kotagede