Senin, 10 Juni 2013

Gerobak kopi di Bangkok




Jalanan Bangkok sangat padat siang itu.  Siang itu?  Tidak hanya siang itu aku yakin tiap hari kota ini pasti selalu hiruk pikuk. Kota ini sangat sibuk dengan perpindahan manusia-manusianya dengan sepeda motor, tuk-tuk, mobil, bis, skytrain, sampai kapal yang menyeberangi sungai yang membelah Bangkok, Chao Phraya.  Suasana mirip kota-kota besar di Indonesia, ramai dan serba tergesa, meskipun jarang terdengar klakson yang mengagetkan dan menyakitkan telinga.  Ya, Bangkok memang berbeda dengan kota-kota lain mengenai klakson ini.  

Dan di siang yang hiruk pikuk, Bangkok tetap menyediakan tempat-tempat sederhana di pinggiran jalannya. Gerobak buah potong, gerobak jus buah dan gerobak kopi.  Dua jenis gerobak yang disebut pertama itu sangat menyelesaikan masalah yang terkait dengan panas dan bisingnya kota Bangkok.  Tapi gerobak kopi?  Menikmati segelas atau secangkir kopi panas di hari yang terik tentu bukan pilihan yang asyik.  Tapi, Bangkok memiliki apapun yang dibutuhkan oleh pengunjungnya.  Siang yang panas di kota sesibuk Bangkok akan terasa sedikit melegakan jika dihadapi dengan es kopi.  Ya, es kopi adalah minuman paling favorit dari sebuah gerobak kopi yang banyak tersebar  di segala penjuru kota itu.

Gerobak kopi di seberang Grand Palace, Bangkok


Kopi yang disajikan dingin dengan es batu bisa jadi memang untuk menjawab kondisi kota Bangkok yang panas.   Efeknya tentu menyegarkan.    Masyarakat setempat biasa menikmati es kopi hitam dengan gula atau dengan susu kental manis, ini racikan yang umum dan dapat ditemui di manapun.   Yup, di manapun.  Sebab gerobak kopi yang menyediakan fresh coffee atau yang bukan kopi instan ini mudah sekali ditemui di sudut-sudut kota Bangkok.  

Fresh Coffee


Seperti juga negara-negara di Asia Tenggara lainnya, Thailand adalah negara peminum teh.  Kebudayaan minum teh lebih tua ketimbang kopi.  Thailand menjadi lebih terbuka dengan kopi saat terseret arus ‘gelombang kopi kedua’ yang melanda secara global.  Kopi yang semula dinikmati di lingkungan domestik atau di dalam rumah dikatakan gelombang kopi pertama.  Kondisi ini bergeser ketika komoditas kopi melonjak saat biji hitam yang mengandung kafein ini ‘keluar’ dari statusnya yang domestik menjadi  minuman sosial.  Kopi hadir menjadi kawan dalam interaksi sosial, dinikmati secara komunal di tempat-tempat publik, yang kemudian kita kenal sebagai kedai kopi.   Gejala ini menggantikan bir dan anggur di negara-negara Eropa.  Kebutuhan akan biji kopi menjadi berlipat dari angka yang tadinya cukup untuk memenuhi kebutuhan kopi di rumah-rumah, kemudian meningkat harus cukup untuk memasok kedai-kedai kopi yang mulai tumbuh.  

Thailand tidak mengalami tanam paksa Van der Bosch pada masa kolonial seperti Indonesia.  Tak ada kisah kelam dalam secangkir kopi di Thailand.  Persentuhan kopi dengan Thailand terlihat lebih manis ketimbang dengan yang terjadi di Nusantara.  Hubungan intim antara Thailand dan kopi  dimulai belum lama, sekitar tahun 1970-an.  Kondisi geografis Thailand merupakan ladang bagus bagi pengembangan kopi untuk menggantikan opium.  Dalam hal ini, PBB turut campur dalam studi kelayakan penggantian opium dengan tanaman lain, dan kopi menjadi kesimpulan yang layak untuk perkara itu.  Pemerintah, dalam hal ini The Royal Project juga menggunakan penanaman kopi ini untuk menyikapi deforesisasi oleh beberapa kelompok etnis lokal yang masih menjalankan pertanian berpindah.  

Sejak itu, kopi ditanam secara massal di dataran-dataran tinggi Thailand untuk sebagian diekspor memenuhi permintaan pasar global dan sebagian lagi untuk memenuhi kebutuhan domestik.  Biji-biji hitam beraroma harum ini bergulir dari pegunungan sejuk di belahan utara dan selatan Thailand, terombang-ambing di timbangan para tengkulak, diolah dan dikurung dalam kemasan-kemasan bermerk, mengendap di kedai-kedai kopi mewah atau gerobak-gerobak kopi pinggir jalan, sebelum akhirnya diracik lalu berada di genggaman para penggemarnya dengan segala cara, gaya dan suasana.  

Thung Tom Kafae, saringan dari kain


Seperti siang itu, secangkir kopi hitam kupesan khusus tanpa susu serta tanpa es kepada ibu peracik yang menjajakan kopi seduhannya di badan trotoar Khaosan Road.   Sambil menyaring bubuk kopi dengan thung tom kafae -semacam saringan kain, diceritakannya padaku bahwa biji kopi itu berasal dari Chiang Rai, pegunungan di utara yang menghasilkan arabika unggulan.  Aku mencermati setiap gerak tangannya dalam menyiapkan kopi pesananku dengan kusyuk.  Sebab dari kedua tangan dan senyum di bibirnya itu secangkir kopi nikmat akan menjadi berkahku siang itu.  Setelah membayarnya dengan koin Baht, aku terima secangkir kopi hitam di cangkir kertas tahan panas dari tangannya.  Kami bertukar senyum paling manis yang kami miliki sebelum si ibu sigap membuat kopi pesanan berikutnya dan aku melanjutkan menelusuri jalanan di Khaosan Road.  Well ya, Bangkok adalah land of smiles, berada di sana dengan secangkir kopi tentu selalu menerbitkan senyum.

Biji kopi dari Chiang Rai


Sumber :






Tidak ada komentar:

Posting Komentar