Jalanan Bangkok sangat padat siang
itu. Siang itu? Tidak hanya siang itu aku yakin tiap hari
kota ini pasti selalu hiruk pikuk. Kota ini sangat sibuk dengan perpindahan
manusia-manusianya dengan sepeda motor, tuk-tuk, mobil, bis, skytrain, sampai
kapal yang menyeberangi sungai yang membelah Bangkok, Chao Phraya. Suasana mirip kota-kota besar di Indonesia,
ramai dan serba tergesa, meskipun jarang terdengar klakson yang mengagetkan dan
menyakitkan telinga. Ya, Bangkok memang
berbeda dengan kota-kota lain mengenai klakson ini.
Dan di siang yang hiruk
pikuk, Bangkok tetap menyediakan tempat-tempat sederhana di pinggiran jalannya. Gerobak buah potong, gerobak jus buah
dan gerobak kopi. Dua jenis gerobak yang
disebut pertama itu sangat menyelesaikan masalah yang terkait dengan panas dan
bisingnya kota Bangkok. Tapi gerobak
kopi? Menikmati segelas atau secangkir
kopi panas di hari yang terik tentu bukan pilihan yang asyik. Tapi, Bangkok memiliki apapun yang dibutuhkan
oleh pengunjungnya. Siang yang panas di
kota sesibuk Bangkok akan terasa sedikit melegakan jika dihadapi dengan es
kopi. Ya, es kopi adalah minuman paling
favorit dari sebuah gerobak kopi yang banyak tersebar di segala penjuru kota itu.
Gerobak kopi di seberang Grand Palace, Bangkok |
Kopi yang disajikan
dingin dengan es batu bisa jadi memang untuk menjawab kondisi kota Bangkok yang
panas. Efeknya tentu menyegarkan. Masyarakat
setempat biasa menikmati es kopi hitam dengan gula atau dengan susu kental
manis, ini racikan yang umum dan dapat ditemui di manapun. Yup, di manapun. Sebab gerobak kopi yang menyediakan fresh
coffee atau yang bukan kopi instan ini mudah sekali ditemui di sudut-sudut kota
Bangkok.
Fresh Coffee |
Seperti juga negara-negara
di Asia Tenggara lainnya, Thailand adalah negara peminum teh. Kebudayaan minum teh lebih tua ketimbang
kopi. Thailand menjadi lebih terbuka
dengan kopi saat terseret arus ‘gelombang kopi kedua’ yang melanda secara
global. Kopi yang semula dinikmati di
lingkungan domestik atau di dalam rumah dikatakan gelombang kopi pertama. Kondisi ini bergeser ketika komoditas kopi
melonjak saat biji hitam yang mengandung kafein ini ‘keluar’ dari statusnya
yang domestik menjadi minuman
sosial. Kopi hadir menjadi kawan dalam
interaksi sosial, dinikmati secara komunal di tempat-tempat publik, yang
kemudian kita kenal sebagai kedai kopi. Gejala ini menggantikan bir dan anggur di
negara-negara Eropa. Kebutuhan akan biji
kopi menjadi berlipat dari angka yang tadinya cukup untuk memenuhi kebutuhan
kopi di rumah-rumah, kemudian meningkat harus cukup untuk memasok kedai-kedai
kopi yang mulai tumbuh.
Thailand tidak mengalami
tanam paksa Van der Bosch pada masa kolonial seperti Indonesia. Tak ada kisah kelam dalam secangkir kopi di
Thailand. Persentuhan kopi dengan
Thailand terlihat lebih manis ketimbang dengan yang terjadi di Nusantara. Hubungan intim antara Thailand dan kopi dimulai belum lama, sekitar tahun
1970-an. Kondisi geografis Thailand
merupakan ladang bagus bagi pengembangan kopi untuk menggantikan opium. Dalam hal ini, PBB turut campur dalam studi
kelayakan penggantian opium dengan tanaman lain, dan kopi menjadi kesimpulan
yang layak untuk perkara itu. Pemerintah,
dalam hal ini The Royal Project juga menggunakan penanaman kopi ini untuk
menyikapi deforesisasi oleh beberapa kelompok etnis lokal yang masih
menjalankan pertanian berpindah.
Sejak itu, kopi ditanam secara
massal di dataran-dataran tinggi Thailand untuk sebagian diekspor memenuhi permintaan
pasar global dan sebagian lagi untuk memenuhi kebutuhan domestik. Biji-biji hitam beraroma harum ini bergulir dari
pegunungan sejuk di belahan utara dan selatan Thailand, terombang-ambing di
timbangan para tengkulak, diolah dan dikurung dalam kemasan-kemasan bermerk,
mengendap di kedai-kedai kopi mewah atau gerobak-gerobak kopi pinggir jalan,
sebelum akhirnya diracik lalu berada di genggaman para penggemarnya dengan
segala cara, gaya dan suasana.
Thung Tom Kafae, saringan dari kain |
Seperti siang itu,
secangkir kopi hitam kupesan khusus tanpa susu serta tanpa es kepada ibu peracik
yang menjajakan kopi seduhannya di badan trotoar Khaosan Road. Sambil
menyaring bubuk kopi dengan thung tom
kafae -semacam saringan kain, diceritakannya padaku bahwa biji kopi itu
berasal dari Chiang Rai, pegunungan di utara yang menghasilkan arabika
unggulan. Aku mencermati setiap gerak
tangannya dalam menyiapkan kopi pesananku dengan kusyuk. Sebab dari kedua tangan dan senyum di bibirnya
itu secangkir kopi nikmat akan menjadi berkahku siang itu. Setelah membayarnya dengan koin Baht, aku
terima secangkir kopi hitam di cangkir kertas tahan panas dari tangannya. Kami bertukar senyum paling manis yang kami
miliki sebelum si ibu sigap membuat kopi pesanan berikutnya dan aku melanjutkan
menelusuri jalanan di Khaosan Road. Well
ya, Bangkok adalah land of smiles, berada di sana dengan secangkir kopi tentu selalu
menerbitkan senyum.
Biji kopi dari Chiang Rai |
Sumber :
Tidak ada komentar:
Posting Komentar