Bagaimana setiap generasi terhubung?
Salah satunya adalah melalui teks.
Ada kesedihan saat catatan elektronik yang kubuat lenyap, tanpa back-up, saat laptop lamaku itu tiba-tiba mati selamanya. Peristiwa-peristiwa selama dua tahun yang telah kuubah dalam teks yang hilang itu menjadi pemutus jejak, a missing link.
Kasus seorang teman, bumi seperti terbalik ketika mendadak laptopnya tidak mau bekerja. Rumusan masalah dan analisa yang menghabiskan 3 hari kerja otak, lenyap! Dunia terasa gelap, sebab kini harus meraba-raba kembali setiap tahap yang telah dikerjakan. Memanggil sepenuhnya ingatan untuk menyusun kembali data yang telah hilang.
Hampir semua orang pernah mengalaminya. Kehilangan data, cerita, kenangan, apapun itu, selalu menghadirkan kekosongan yang menyedihkan.
Mari melangkah surut, pada 3 dari sekian banyak peristiwa yang mengingatkan bagaimana rasa kehilangan mendalam sejumlah teks penghubung antar generasi.
# 13 Oktober 1965, pembakaran data dan karya Pramoedya Ananta Toer.
Kabarnya, dia membawa dendamnya hingga meninggal pada tentara, saat kliping tentang Indonesia yang telah dikumpulkan selama belasan tahun dibakar bersama dengan beberapa karya teks-nya. Dia sudah mengiba pada tentara agar tidak membakar, tapi menyerahkan kepada arsip negara untuk disita atau disimpan. Tidak untuk dimusnahkan. Tapi tetap, api menghabiskan data dan karya teks Pramoedya.
Mundur lagi ke belakang.
# 1812, Geger Sepehi/Sepoy.
# 1812, Geger Sepehi/Sepoy.
Saat itu Inggris dibawah Raffles menyerang Keraton Yogyakarta pada masa jumeneng Sultan HB II. Pasukan Gurka utusan Inggris berhasil membobol Keraton dan merampas kekayaaan yang dimilikinya saat itu, termasuk manuskrip-manuskrip kuno. Seperti yang dikatakan Sultan HB X, waktu itu, setiap hari sekitar lima gerobak naskah kuno diambil
selama satu minggu berturut-turut dan dibawa ke London. Naskah itu
berisi tentang tari-tarian ataupun karya-karya pujangga keraton. Lebih
dari 7.000 judul naskah kuno Keraton Yogyakarta dibawa ke Inggris
sehingga manuskrip kuno pada masa HB I dan HB II nyaris hilang. Saat
ini, di Perpustakaan Widya Budaya Keraton Yogyakarta tersisa 363 naskah (Kompas, 7 Agustus 2010).
Jauh lagi ke belakang, ratusan tahun lalu.
# Abad 12, Angkor Wat, Cambodia.
# Abad 12, Angkor Wat, Cambodia.
Budaya menulis bangsa Khmer di Cambodia bisa disaksikan dari bekas bangunan perpustakaan yang ada di Angkor. Gedung perpustakaan selalu dibangun sepasang, baik itu di Angkor Wat, di kompleks Bayon di Bapuon, maupun di Banteay Srei. Diduga, dalam bangunan yang terpisah dari candi utama inilah manuskrip-manuskrip kuno bangsa Khmer disimpan dalam bentuk teks di atas lontar. Saat ini kita hanya bisa menyaksikan bangunan perpustakannya saja, sebab semua lontar yang hanya bisa bertahan 100-150 tahun itu telah hancur dimakan usia dan musnah karena berbagai sebab.
Manuskrip kuno di atas lontar. Inilah lembar ramalan tentang aku dari seorang peramal di ruang utama Angkor Wat. |
Agak melegakan saat mengunjungi candi-candi itu dan mendapati manuskrip-manuskrip kuno dipahat di dinding dan pilar-pilar. Aku trenyuh sendiri saat meraba huruf-huruf Pali, Sanskrit dan juga bahasa Khmer diukir halus dan rapi di batu. Bangsa Khmer kuno mengukirkan inskripsi pada batu-batu keras yang abadi tentang pengetahuan, cerita kehidupan sehari-hari, catatan peristiwa besar serta mantra-mantra pemujaan kepada para dewa dan raja. Mereka telah menyelamatkan teks! Betapa mereka telah menghubungkan setiap generasi sejak ratusan tahun lalu.
Salah satu pilar di Angkor Wat |
Inskripsi di dinding pintu Keone Wat |
Inskripsi di dinding Elephant Terrace, kompleks Angkor |
Gedung perpustakaan sisi selatan area Angkor Wat dan seorang bikku duduk di pintu masuk. |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar