Rabu, 12 Juni 2013

Antara Aku, Bapak dan Pramoedya Ananta Toer

Buku-buku yang dipilih bapak dari rak bukuku

 Akhir pekan lalu, bapak bersama ibu datang dan menginap di rumah.  Dengan menyetir mobil sendiri dari Magelang merupakan tanda bahwa bapak sehat dan bersemangat. Pertemuan keluarga seperti biasa diwarnai dengan tukar menukar cerita kejadian-kejadian selama kami tidak bertemu.  Namun ada yang berbeda kali itu, saat bapak tumben-tumbenan berkenan melihat koleksi buku-bukuku. Beberapa diambilnya, dibaca judul dan mungkin penulisnya, lalu membolak-balik satu dua halaman, kemudian dikembalikan ke tempatnya lagi.  Setelah sejumlah buku hanya diperhatikan sekilas, ada 3 buku yang akhirnya dikeluarkan dari rak.  

Buku pertama berjudul 'Jejak Sang Pembangkang' yang ditulis Frigidanto Agung (2004).  Aku tahu, judulnya pasti menarik keingintahuan bapak.  Saat bapak masih berdinas di kesatuan Angkatan Darat, tentu orang-orang dengan predikat pembangkang mungkin akan menempati daftar orang yang harus 'diamankan'.  Kata di-aman-kan, yang menurut Pramoedya Ananta Toer -selanjutnya akan aku sebut Pak Pram-, berarti dianiaya, sama sekali tidak punya sangkut-paut dengan aman dan keamanan.  Demikian pengalaman mengajarkan pada Pak Pram tentang makna 'diamankan', yang dimuat dalam 'Surat Terbuka Pramoedya Ananta Toer kepada Keith Foulcher' di Jakarta pada 5 Maret 1985.

Berikutnya bapak membaca sebuah buku cukup tebal dengan lebih perhatian.  '500 Tahun Timor Loro Sae' yang ditulis Geoffrey C. Gunn (2005) membuat bapak bertahan cukup lama membaca, bahkan dilanjutkan pada keesokan harinya.  Tidak aneh, jika bapak menganggap buku itu penting, mengingat bapak pernah bertugas di sana sekitar tahun 1977-1978.  Timor Timur telah ikut menjalin sejarah dalam kehidupan bapak.  Peristiwa apapun mengenai wilayah yang pernah diperjuangkan dengan darah para prajurit seperti dirinya untuk menjadi propinsi ke-27 RI itu, sangat menarik perhatiannya. Saat aku menulis skripsi di tengah-tengah gejolak Referendum tahun 1999, bapak banyak bertanya mengenai apa yang aku ketahui dan analisa yang kubuat.  Tugas akhir berjudul 'Pengaruh Media Massa dalam Kebijakan Luar Negeri, Studi Kasus Hubungan Indonesia-Australia' itu memang menyeret Timor Timur sebagai elemen dominan yang mewarnai pengambilan kebijakan luar negeri kedua negara bertetangga itu.  Saat itu aku maklum ketika bapak menjadi ikut tegang memantau nasib Timor Timur melalui referendum, merdeka atau tetap menjadi bagian dari Indonesia.  Jika Timtim -begitu bapak selalu menyebut Timor Timur- merdeka, aku bisa merasakan kesia-siaan bapak pernah mengesampingkan keluarga saat ditinggal 'berperang'.  
Di sisi lain, logikaku mengatakan bahwa kasus Timor Timur telah berubah menjadi semacam 'entrapment'.  Pemerintah RI telah terjebak untuk terus mempertahankan apa yang telah diperjuangkan sejak 24 tahun lamanya (1975-1999).  Sudah terlalu banyak yang dikorbankan oleh negara ini.   Daripada semua menjadi sia-sia, negara ini terus mempertahankan dengan segala cara, fisik dan diplomasi.  Padahal, sesungguhnya apa yang dipertahankan itu tidak sebanding.  

Terhitung beberapa malam tiap aku meninggalkan kos di Jogja untuk pulang ke rumah, di tengah masa penggarapan skripsi, kuhabiskan dengan berdiskusi dengan bapak mengenai Timor Timur.  Saat itu aku lebih mengenal bapak dari sisi yang tak pernah kuketahui sebelumnya.  Tentang masa kelam saat bertugas yang turut membentuknya menjadi seperti sekarang.  Di antara obrolan serius mengenai perkembangan politik Timor Timur, bapak sesekali menyelipkan kisah-kisah manusiawi para prajurit.  Termasuk diceritakan pula tentang dirinya, seorang militer yang juga memiliki kehidupan sipil, sebagai suami dan bapak dari anak-anaknya, aku dan adikku. 
Waktu itu aku masih berusia 2 tahun dan adikku masih dalam kandungan ibu.  Operasi Seroja namanya, telah memisahkan sementara kami sekeluarga, hingga ibu melahirkan adik prematur.  Berita mengenai tewasnya beberapa prajurit dari kesatuan bapak membuat ibu panik karena tak mendapat kabar apapun mengenai keselamatan bapak.  Adikku satu-satunya itu lahir belum cukup umur tanpa ditunggui bapak yang bertugas di kota Ermera.  Entah apa maksudnya, mungkin untuk mengenang kota itu, nama adikku ditambah dengan Ermerawan di bagian paling belakang.  Saat kembali dari Timtim aku tidak mengenal bapak sama sekali, karena bapak berangkat tugas ketika aku masih terlalu kecil untuk mengingatnya.  Aku tidak mengenal sosok 'bapak' ada dalam keluargaku, sampai bapak pulang dari bertugas.  Pada bagian ini, ibu menambahkan cerita.  Bapak membelikan banyak sekali permen dan mainan agar mudah 'mendekatiku' lalu memberitahuku pelan-pelan bahwa sosok laki-laki asing itu adalah bapakku.

Buku ketiga yang menarik bapak adalah 'Pramoedya Ananta Toer, Dari Dekat Sekali.  Catatan Pribadi Koesalah Soebagyo Toer' (2006).  Aku memperhatikan bapak tak kalah serius membaca buku ini, jika dibandingkan dengan buku Timor Loro Sae tadi.  Semula aku tidak yakin, bapak memang sengaja mengambilnya dari rak karena bapak mengenal nama di judul buku itu, Pak Pram.  Tapi kemudian sungguh aku terkejut saat bapak merasa sudah cukup membaca, meletakkan kaca mata dan buku itu di meja, lalu bercerita kepadaku.
"Orang ini sudah akan ditembak saat turun dari kapal yang membawanya pulang dari Pulau Buru di pelabuhan Semarang." kata bapak.
"Tapi nggak jadi, karena orang ini sudah bebas." lanjut bapak.
"Kenapa Pak Pram mau ditembak?" tanyaku.  Sungguh ini kejutan yang membuatku merinding seketika, bahwa bapak mengenal nama ini, bahkan pernah bertemu langsung dengannya!
"Sebab, saat keluar dari badan kapal, di hadapan kami -para tentara, orang ini berteriak : Hidup PKI!" kata bapakku dengan berteriak dan mengacungkan kepal tangan kanannya ke atas. Kuduga bapak menirukan persis gaya Pak Pram saat meneriakkan itu.  Aku merasakan sedikit getar emosinya.

Duh bapak, anak perempuanmu ini terpikat pemikiran orang yang mau ditembak itu, dan menyimpan beberapa bukunya di rak lain.

Sungkem bapak ..



Tidak ada komentar:

Posting Komentar