Di sebuah rumah jawa. Kotagede.
Aku melintasi regol, seketika sebuah pendapa menghadang pandanganku. Bangunan tanpa sekat, ruang bagi pemilik rumah untuk terbuka dengan siapapun dan apapun. Terbuka, karena hanya terbangun dari empat saka guru dan dua belas saka ruwa menciptakan bayang yang doyong ke barat di atas ubin abu-abu, matahari baru saja naik. Pendapa itu selain terbuka juga 'terang', tak ada yang tertutup atau ditutupi di sini.
Kuputari pendapa yang memiliki tumpangsari bersusun lima itu dan langsung menuju pringgitan. Ruang antara pendapa dan dalem ageng, tempat di mana seorang dalang biasa melakonkan ringgit atau wayang. Sesampainya di emper, kuletakkan pantat, duduk, di gigirnya. Di sini, suasana tak seterang pringgitan apalagi pendapa. Tembok-tembok tebal yang mengepung emper dari kanan dan kiri menyiutkan cahaya.
Kuintip ruang dalam yang temaram. Mesti matahari sudah mulai terang, tapi cahayanya tak bisa lebih jauh menembus dalem ageng. Sepasang jendela berjeruji kayu yang mengapit pintu kayu berbilah dua, tak juga membantu sedikitpun ruang dalam itu mendapatkan sinar dan kehangatan matahari. Gelap.
Aku bangkit. Lantai emper yang sedikit lebih tinggi itu membuatku mencincing kain saat menaikinya. Selembar jarik kawung untuk jiwa yang suwung. Jarik yang ketat membebat tubuh itu menjaga langkah tidak tergesa-gesa dan membuatku memilih berjalan hati-hati daripada wirang karena terjungkal. Mata memicing untuk dapat melihat semuanya menjadi jelas. Perlu penyesuaian dari terang ke gelap selama beberapa detik sebelum kemudian dapat melihat satu setel meja kursi kayu, sebuah amben dan dua lemari kayu serta dua buah lampu senthir berkaki, setinggi 1 meter.
Aku berdiri menghadap utara, tepat di depan senthong tengah. Ini adalah satu-satunya bagian yang tidak tertutup, setidaknya sedikit tertutup dan tak rapat. Sementara kedua senthong lain di kiwa dan tengen berpintu dan ditutup. Senthong tengah ini hanya ditutupi slintru, partisi dari bilah-bilah papan dilukis motif cinde yang dirakit menjadi satu. Aku mengintip dari celah, dan hanya menjumpai gelap. Serta kosong.
Inilah yang kucari. Ruang kosong. Bagian paling sakral dalam rumah tradisional jawa, senthong tengah. Lantainya sengaja ditinggikan karena ruang untuk manusia dan ruang untuk-Nya ditandai dengan level yang berbeda. Kegelapan yang juga sengaja diciptakan dengan tanpa memberikan lubang cahaya menggiring penglihatan menjadi buta pada hal-hal yang bendawi. Atau sebaliknya, gelap membuat penglihatan semakin tajam memindai. Seperti sunyi yang menajamkan telinga untuk menangkap bisik terhalus, yang biasanya tak terdengar sebab gaduh yang kita buat sepanjang waktu. Seperti juga sepi yang melahirkan kesadaran akan setiap gerak yang tengah dilakukan.
Suwung, ruang dibalik slintru itu suwung. Sekarang hanya ada aku dan kekosongan. Aku dihadapkan pada situasi yang membuatku kerdil. Kesendirian. Tidak ada kawan yang menemani dan tak ada lawan yang menyaingi. Tak ada yang dihadapi. Lalu apa? Manusiawiku menjadi luruh dalam dudukku simpuh. Kekosongan menghadirkan-Nya begitu nyata.
Senthong tengah yang slintru-nya sudah dibongkar, menjadi ruang terbuka dan kini dipakai untuk Sholat |
------------
Imajinasi dan perasaan lebay yang campur aduk saat terkesan dengan Senthong Tengah sebuah rumah tradisional Jawa di Kotagede. Ruang ini sudah dihilangkan atau dialihfungsikan, tidak ada yang menggunakannya lagi sesuai makna saat ruang ini dibangun dulu.
Senthong tengah merupakan ruang inti dari ndalem ageng. Tidak digunakan untuk tidur atau kegiatan apapun. Dulu, ruang ini dipersembahkan kepada Dewi Sri yang akan turun memberkati panen, kesejahteraan dan keselamatan penghuni rumah.
Senthong tengah ndalem Sopingen, Kotagede |
Senthong tengah ndalem juragan perak di Purbayan Kotagede |
Senthong tengah di Between Two Gates, Kotagede |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar