Hari Raya Waisak 2557 BE (Buddha Era) jatuh pada hari Sabtu tanggal 25 Mei 2013. Purnama pertama setiap bulan Mei merupakan perayaan Tri Suci Waisak. Umat Buddha memperingati 3 peristiwa agung sekaligus, yaitu kelahiran Pangeran Siddharta, pencerahan abadi Sang Buddha dan wafatnya Buddha Gautama.
Bikkhu diikuti umat Buddhis |
Detik-detik Waisak dirayakan dengan Pujabakti di pelataran Candi Mendut tempat bersemayam Air Berkah dari Umbul Jumprit Temanggung dan Api Abadi dari Mrapen Purwadadi. Tepat pukul 11.24 WIB umat Buddha dari segala penjuru melakukan meditasi bersama dipimpin oleh para Bikhu. Selanjutnya pada pukul 14.00 WIB, kirab yang mengarak Air Berkah, Api Abadi dan Relik Sang Buddha dimulai dari pelataran Candi Mendut, melewati Candi Pawon hingga Zona 1 Candi Borobudur. Umat Buddha berjalan kaki sepanjang kira-kira 3,5 km.
Umat Buddha dengan panji-panji |
Kirab dibuka oleh Marching Band yang diikuti oleh peserta kirab yang lain. Turut dalam kirab adalah pengarak gunungan hasil bumi, kesenian tradisional seperti Reog dan Barongsai. Selain itu, sebuah mobil yang diatasnya duduk para Bikkhu memercikkan air berkah kepada siapa saja yang mendekat di sepanjang jalan dan seorang perempuan menyebarkan kelompak-kelopak mawar merah dan putih.
Air berkah dari sumber air Umbul Jumprit, Temanggung, Jawa Tengah |
Api abadi yang diambil dari Mrapen, Purwadadi, Jawa Tengah |
Diikuti oleh ribuan umat Buddha yang tak hanya berasal dari sekitar Jawa Tengah, karena ini adalah perayaan nasional, maka umat yang datang berasal dari berbagai daerah di Indonesia. Tidak seperti kirab yang aku ikuti dari Vihara Majapahit hingga Candi Brahu di Trowulan tahun 2011, kirab menuju Candi Borobudur ini tidak diwarnai chanting. Lantunan sutra dalam bahasa Pali yang menenangkan dan syahdu itu tidak terdengar. Padahal aku merindukannya, berjalan kaki berbaur dengan umat Buddha, dituntun oleh lantunan sutra dan kembang sedapmalam digenggaman. Dua kuntum sedapmalam aku pasang di gelungan rambutku, dan di sepanjang jalan wanginya menghampiri penciumanku dan merembes menyentuh hati. Wanginya melembutkan hatiku.
Bikuni dengan Sedapmalam di genggaman |
Penonton memenuhi pinggir jalan menyaksikan kirab. Prosesi yang hanya terjadi sekali dalam setahun ini menjadi hiburan yang menarik tak hanya bagi warga sekitar, tapi juga wisatawan lokal dan internasional. Dua orang perempuan berjilbab di sebelahku mengatakan bahwa mereka datang dari Jakarta hanya untuk menyaksikan prosesi ini. Memang tak sedikit yang datang dari jauh, kutebak dari logat bicara dan model pakaian yang mereka kenakan, terbuka dan khas kota besar.
Selain hiburan, event ini selalu mendatangkan rejeki bagi mereka yang mau memanfaatkannya. Kerumunan orang banyak selalu menjadi berkah bagi para pedagang minuman dan makanan. Belum lagi rumah-rumah penduduk sekitar yang bisa disewa pengunjung dari luar kota. Ahh, perayaan ini berkah bagi Umat Buddha dan yang bukan. Inilah cara umat Buddha berbagi kegembiraan dan kebahagiaan dengan menyambut mereka yang bukan umat untuk bergabung.
Reog 'Singo Jalu Wono' |
Perjalanan sepanjang 3,5 km di tengah siang yang terik melahirkan titi-titik keringat bahkan menciptakan aliran serupa sungai kecil di sekujur tubuh. Kaki-kaki yang lelah akhirnya tiba di pintu barat, di mana satu persatu umat dipersilakan memasuki gapura besi ber-detektor dan diminta membuka tas bawaan untuk keamanan bersama. Setelahnya semua peserta kirab bisa beristirahat di tempat-tempat yang telah disiapkan panitia berupa tenda-tenda besar berwarna putih. Di sini pula, mereka mempersiapkan diri untuk mengikuti puncak peringatan Tri Suci Waisak pada malam harinya.
Di Zona 1 Candi Borobudur, umat Buddha yang hadir mendengarkan sambutan dari Menteri Agama Bp. Suryadharma Ali, Gubernur Jawa Tengah Bp. Bibit Waluyo dan beberapa petinggi Agama Buddha. Disusul dengan pembacaan paritta dengan berbagai bahasa oleh wakil Bikkhu dari berbagai kelompok. Semua ini bisa diikuti secara serentak oleh seluruh umat Buddha di Indonesia, mungkin melalui streaming atau siaran TV nasional. Dilanjutkan dengan pradaksina, mengelilingi Candi Borobudur sebanyak tiga kali sesuai dengan arah jarum jam, dipimpin pleh para Bikkhu dan Bikkhuni, diikuti oleh semua umat Buddha yang hadir dan juga beberapa pengunjung yang berkenan mengikuti.
Acara pelepasan lampion sebanyak 1.000 buah batal dilaksanakan sebab hujan yang tidak mereda. Hujan tidak memungkinkan lampion-lampion harapan terbuat dari kertas berharga seratusan ribu untuk ber-dharma itu diterbangkan ke langit. Pengunjung kecewa dan terlihat marah.
Menyedihkan. Semula aku salut hari Tri Suci Waisak yang luar biasa ini diperingati oleh semua orang, tidak hanya umat Buddhis. Tapi ternyata mereka datang bukan untuk benar-benar menyerap esensi peringatan ini. Tapi mereka datang hanya untuk menyaksikan seribu lampion dilepaskan. Begitu banyak pengunjung Non-Buddhis yang datang, sehingga aku berpikir ini hebat, sebab inilah satu-satunya Hari Raya yang turut dirayakan oleh semua orang dari berbagai agama. Sungguh aku begitu naif.
Sabbe satta bhavantu sukhitatta. Semoga semua makhluk berbahagia.
_/\_