Senin, 27 Mei 2013

#3 - Kirab Waisak 2557 BE dari Candi Mendut menuju Candi Borobudur

Hari Raya Waisak 2557 BE (Buddha Era) jatuh pada hari Sabtu tanggal 25 Mei 2013.  Purnama pertama setiap bulan Mei merupakan perayaan Tri Suci Waisak.  Umat Buddha memperingati 3 peristiwa agung sekaligus, yaitu kelahiran Pangeran Siddharta, pencerahan abadi Sang Buddha dan wafatnya Buddha Gautama.  

Bikkhu diikuti umat Buddhis


Detik-detik Waisak dirayakan dengan Pujabakti di pelataran Candi Mendut tempat bersemayam Air Berkah dari Umbul Jumprit Temanggung dan Api Abadi dari Mrapen Purwadadi.  Tepat pukul 11.24 WIB umat Buddha dari segala penjuru melakukan meditasi bersama dipimpin oleh para Bikhu. Selanjutnya pada pukul 14.00 WIB, kirab yang mengarak Air Berkah, Api Abadi dan Relik Sang Buddha dimulai dari pelataran Candi Mendut, melewati Candi Pawon hingga Zona 1 Candi Borobudur.  Umat Buddha berjalan kaki sepanjang kira-kira 3,5 km.  

Umat Buddha dengan panji-panji


Kirab dibuka oleh Marching Band yang diikuti oleh peserta kirab yang lain.  Turut dalam kirab adalah pengarak gunungan hasil bumi, kesenian tradisional seperti Reog dan Barongsai.  Selain itu, sebuah mobil yang diatasnya duduk para Bikkhu memercikkan air berkah kepada siapa saja yang mendekat di sepanjang jalan dan seorang perempuan menyebarkan kelompak-kelopak mawar merah dan putih. 

Air berkah dari sumber air Umbul Jumprit, Temanggung, Jawa Tengah


Api abadi yang diambil dari Mrapen, Purwadadi, Jawa Tengah


Diikuti oleh ribuan umat Buddha yang tak hanya berasal dari sekitar Jawa Tengah, karena ini adalah perayaan nasional, maka umat yang datang berasal dari berbagai daerah di Indonesia.  Tidak seperti kirab yang aku ikuti dari Vihara Majapahit hingga Candi Brahu di Trowulan tahun 2011, kirab menuju Candi Borobudur ini tidak diwarnai chanting.  Lantunan sutra dalam bahasa Pali yang menenangkan dan syahdu itu tidak terdengar.  Padahal aku merindukannya, berjalan kaki berbaur dengan umat Buddha, dituntun oleh lantunan sutra dan kembang sedapmalam digenggaman.  Dua kuntum sedapmalam aku pasang di gelungan rambutku, dan di sepanjang jalan wanginya menghampiri penciumanku dan merembes menyentuh hati.  Wanginya melembutkan hatiku.

Bikuni dengan Sedapmalam di genggaman

Penonton memenuhi pinggir jalan menyaksikan kirab.  Prosesi yang hanya terjadi sekali dalam setahun ini menjadi hiburan yang menarik tak hanya bagi warga sekitar, tapi juga wisatawan lokal dan internasional.  Dua orang perempuan berjilbab di sebelahku mengatakan bahwa mereka datang dari Jakarta hanya untuk menyaksikan prosesi ini.  Memang tak sedikit yang datang dari jauh, kutebak dari logat bicara dan model pakaian yang mereka kenakan, terbuka dan khas kota besar.  

Selain hiburan, event ini selalu mendatangkan rejeki bagi mereka yang mau memanfaatkannya.  Kerumunan orang banyak selalu menjadi berkah bagi para pedagang minuman dan makanan.  Belum lagi rumah-rumah penduduk sekitar yang bisa disewa pengunjung dari luar kota.  Ahh, perayaan ini berkah bagi Umat Buddha dan yang bukan.  Inilah cara umat Buddha berbagi kegembiraan dan kebahagiaan dengan menyambut mereka yang bukan umat untuk bergabung. 

Reog 'Singo Jalu Wono'


Perjalanan sepanjang 3,5 km di tengah siang yang terik melahirkan titi-titik keringat bahkan menciptakan aliran serupa sungai kecil di sekujur tubuh.  Kaki-kaki yang lelah akhirnya tiba di pintu barat, di mana satu persatu umat dipersilakan memasuki gapura besi ber-detektor dan diminta membuka tas bawaan untuk keamanan bersama.  Setelahnya semua peserta kirab bisa beristirahat di tempat-tempat yang telah disiapkan panitia berupa tenda-tenda besar berwarna putih. Di sini pula, mereka mempersiapkan diri untuk mengikuti puncak peringatan Tri Suci Waisak pada malam harinya.  

Di Zona 1 Candi Borobudur, umat Buddha yang hadir mendengarkan sambutan dari Menteri Agama Bp. Suryadharma Ali, Gubernur Jawa Tengah Bp. Bibit Waluyo dan beberapa petinggi Agama Buddha.  Disusul dengan pembacaan paritta dengan berbagai bahasa oleh wakil Bikkhu dari berbagai kelompok.  Semua ini bisa diikuti secara serentak oleh seluruh umat Buddha di Indonesia, mungkin melalui streaming atau siaran TV nasional.  Dilanjutkan dengan pradaksina, mengelilingi Candi Borobudur sebanyak tiga kali sesuai dengan arah jarum jam, dipimpin pleh para Bikkhu dan Bikkhuni, diikuti oleh semua umat Buddha yang hadir dan juga beberapa pengunjung yang berkenan mengikuti.  

Acara pelepasan lampion sebanyak 1.000 buah batal dilaksanakan sebab hujan yang tidak mereda.  Hujan tidak memungkinkan lampion-lampion harapan terbuat dari kertas berharga seratusan ribu untuk ber-dharma itu diterbangkan ke langit.  Pengunjung kecewa dan terlihat marah.  
Menyedihkan.  Semula aku salut hari Tri Suci Waisak yang luar biasa ini diperingati oleh semua orang, tidak hanya umat Buddhis.  Tapi ternyata mereka datang bukan untuk benar-benar menyerap esensi peringatan ini.  Tapi mereka datang hanya untuk menyaksikan seribu lampion dilepaskan.  Begitu banyak pengunjung Non-Buddhis yang datang, sehingga aku berpikir ini hebat, sebab inilah satu-satunya Hari Raya yang turut dirayakan oleh semua orang dari berbagai agama.  Sungguh aku begitu naif.

Sabbe satta bhavantu sukhitatta.  Semoga semua makhluk berbahagia.
_/\_






#2 - Pujabakti Waisak 2557 BE di palataran Candi Borobudur




Perayaan Hari Trisuci Waisak 2557 Buddha Era di pelataran Candi Borobudur

Ujian umat Buddha : 
hujan, tamu kehormatan terlambat datang dan pengunjung yang gelisah


Sabtu 26 Mei 2013, rintik hujan menjadi semakin deras saat senja mulai menghilang digantikan oleh malam.  Gelap segera menyeliputi pelataran yang tanpa penyinaran lampu listrik.  Cahaya hanya berasal dari purnama yang menggantung di langit mendung menyinari ribuan kepala.  Mereka adalah para bikkhu dan bikkhuni yang duduk bersila paling dekat dengan badan candi.  Berikutnya para umat Buddhis dan kemudian para pengunjung di bagian yang semakin jauh dari candi.  Di sela-selanya para fotografer menyebar di titik-titik yang tidak menentu, sporadis.  
Ketika senja benar-benar menghilang, lampu-lampu di sekitar Stupa Utama Candi Borobudur mulai dinyalakan.  Dalam gelap, candi yang terbuat dari batu andesit itu nampak seperti gundukan bukit dengan puncak berupa stupa yang bersinar.  Saat itulah payung-payung mulai dimegarkan, mantel-mantel hujan mulai dikenakan.  Tetes air semakin kerap dan besar-besar.  Hujan.  


Saat senja mulai menghilang, saat itu pula gerimis datang.  Payung-payung mulai dikembangkan.


Kupandang bulan bundar yang pucat.  Sesekali dia menghilang tertutup mendung -awan berat memuat air yang terus digerakkan oleh angin.  Sangat muram.  Kemudian dingin menyergap ketika kuyup menempel pada tubuh-tubuh yang bertahan, tak bergeming.  Semenit, dua menit, sejam lalu dua jam berlalu.  Pengunjung mulai gelisah sebab dingin, basah dan prosesi pujabakti yang tak kunjung dimulai.  dari hanya sekedar bisik-bisik, kasak kusuk lalu semakin deras hujannya semakin menjadi keluh kesah yang tak sopan didengar.  Mereka tak sabar menunggu acara dimulai lalu ditutup dengan pelepasan lampion.  

Altar Pujabakti Waisak dan Stupa Borobudur yang bersinar


Lampion!  Pengunjung hanya menunggu kapan acara pelepasan lampion akan tiba, kenapa lama sekali? Demikian keluh kesah yang ramai terdengar, selain mengeluhkan hujan yang tak kunjung reda.   Pengunjung gelisah.  Aku merasakan mereka mulai lalu lalang, mulai berbicara, bercanda keras-keras, dan mulai menunjukkan sikap-sikap yang tidak simpatik.  

Setelah lewat pukul 20.00, panitia mulai menenangkan umat dan pengunjung untuk tetap bertahan.  Dengan mengingatkan penderitaan Sang Buddha, diharapkan umat menjadi lebih tenang dalam menunggu dan bertahan dari dingin serta hujan.  Dikabarkan juga, bahwa prosesi akan segera dimulai setelah tamu kehormatan yaitu Menteri Agama RI Bp. Suryadharma Ali, Gubernur Jawa Tengah Bp. Bibit Waluyo, beserta rombongan pejabat undangan lainnya, tiba di lokasi.  
Pengunjung justru semakin keras mengeluh saat mereka mengetahui apa penyebab mereka harus menunggu lama.  Mereka berteriak dari segala penjuru : 'Huuuuuuuuu'.

Nun, jauh di barisan depan, umat Buddhis tetap duduk menyilakan kaki berhadapan dengan para bikhu, biksu dan biksuni yang hanya mengenakan jubah panjang berwarna oranye tua, coklat dan merah marun yang gelap.  Mereka adalah yang sungguh-sungguh bertahan.  Sebab ini peringatan Tri Suci Waisak.  Upacara yang mengingatkan mereka akan penderitaan Buddha sebelum mendapatkan pencerahan.  Bagaimana mereka mengeluh saat itu jika mengingat perjuangan Buddha menjalani semua dukkha yang jauh lebih berat dibandingkan derita dingin, hujan serta menunggu? Mereka tetap hening.

Puncak kegaduhan adalah saat tamu kehormatan berjalan menuju altar, membelah lautan manusia dinaungi payung serta terbungkus mantel hujan warna-warni.  Mereka disambut oleh teriakan huuuu dari pengunjung yang terlihat kecewa dan marah.  Menyedihkan.  Para pejabat itu menyedihkan.  Para pengunjung itu menyedihkan pula.  Apapun alasannya, mereka telah membuat para umat dan pengunjung menunggu sangat lama dalam curahan hujan dan dingin yang mulai menembus kulit.  Menyedihkan lagi saat tak ada kata maaf yang keluar dari bibir para pejabat saat membacakan sambutan pembukaan prosesi. 
Para pengunjung itu sama saja menyedihkan.  Dingin, basah dan prosesi yang telat dimulai, membuat mereka geram karena mengacaukan harapan indah tentang pelepasan lampion yang meriah dan eksotis.  Bagaimana bisa?  Bukankah mereka hanya datang dan menonton?  Acara ini bukan milik mereka, kenapa mesti marah dengan sesuatu yang tidak sesuai harapan mereka?  

Malam semakin tua, hujan semakin deras, kuyup semakin membuat gigil.  Sambutan demi sambutan makin mendekatkan pada puncak acara, yaitu pelepasan lampion.  Pengunjung justru semakin gelisah, mereka berdiri dengan payung-payung mengembang sebab karpet kuning telah mulai basah.  Aku yang tetap duduk, hilang di antara tubuh-tubuh yang menjulang dan hilir mudik pengunjung yang semakin meringsek maju.  Aku tetap dalam dudukku semula, mendengarkan paritta dalam berbagai bahasa yang tidak aku mengerti.  Aku memang tidak mengerti sedikitpun, aku hanya yakin bahwa itu kalimat-kalimat suci yang menghubungkan manusia dengan Buddha dan semesta raya.  Adakah yang lebih indah dari persembahan manusia terhadap semesta?

Pelepasan lampion batal dilaksanakan.  Hujan yang semakin deras tidak memungkinkan lampion-lampion harapan itu diterbangkan ke langit.  Bisa dibayangkan kekecewaan pengunjung.  Bisa dibayangkan pula kekecewaan para fotografer yang pulang tanpa membawa hasil foto 1.000 lampion yang beterbangan menuju awan.

Hanya umat Buddha dan mereka yang menyadari esensi peringatan Tri Suci Waisak saja yang tetap merasa terberkati, bersyukur bisa menghadiri perayaan yang secara nasional dipusatkan di Candi Mendut, Candi Pawon dan Candi Borobudur.  Tanpa lampion harapan yang dilepaskan malam itu, umat Buddha tetap menggenggam harapan.  Sebab harapan mereka telah melekat dalam sembahyang dan sikap-sikap meditatif.  Mereka menghidupi harapan meski tanpa lampion.

Sabbe Satta Bhavantu Sukhitatta.  Semoga semua makhluk berbahagia.  
_/\_









#1 - Detik-detik Waisak 2557 BE di Candi Mendut



Ujian Umat Buddha : panas terik matahari dan gerombolan fotografer

Siang itu, hanya kurang beberapa menit menjelang Detik-detik Waisak 2557 BE, aku baru turun dari mobil dan hampir berlari dari sisi timur menuju pelataran Candi Mendut.  Hampir terlambat sebab jalanan macet sejak Muntilan dari arah Jogja, dan harus memutar dari Blondo karena jalan menuju Candi Mendut dari perempatan Palbapang ditutup.  

Sudah tidak ada tempat untuk duduk, kecuali diatas karpet kuning yang memang sengaja dikosongkan untuk lalu lalang umat.  Beberapa umat yang terlambat tidak mempunyai pilihan lain selain duduk di bagian jalan ini, termasuk aku.  
Aku melirik ke sebelah kanan dan kiriku.  Umat yang terlambat, duduk di atas karpet yang tidak dinaungi tenda.  Sangat panas karena matahari terik tepat di atas kepala, dan harus berbagi ruang dengan para fotografer yang masih saja hilir mudik.  Ya, para fotografer masih sibuk kesana-kemari di depan kami, beberapa bahkan melompati kami yang duduk di jalan.  Sementara semua umat Buddha telah duduk bersila dengan rapi dan khidmat, menunggu aba-aba meditasi bersama pada detik-detik Waisak. 

Aku bukan Buddhis, tapi selalu berusaha untuk bisa mengikuti meditasi pada detik-detik Waisak.  Bersama umat, aku hening di antara pengunjung dan fotografer yang lalu lalang dan beberapa dari mereka memberi pantat pada kami, berdiri tepat di depan umat yang duduk dengan sikap anjali.  Mereka mencari posisi yang sekiranya bagus untuk bisa membidik para bikhhu dan bikkhuni yang duduk jauh di depan kami.  

Ironis sekali.  Aku melihat pada wajah-wajah tenang di sekitarku.  Umat Buddha yang datang dari jauh, merayakan peringatan Tri Suci Waisak setahun sekali bersama-sama dengan umat lain dari berbagai daerah.  Mereka melihat dan memperhatikan ulah pengunjung dan fotografer dengan diam.  Mereka mencoba tidak terusik dengan mereka yang menenteng kamera pocket, kamera (D)SLR sampai kamera sumper canggih seperti bazooka.  Tetap berusaha khidmat meski banyak sekali kamera yang mengarah pada mereka.  

Entah dimana rasa rasa empati mereka, para fotografer itu?  Ini adalah prosesi suci, pertemuan pribadi-pribadi dengan spirit Buddha dalam 3 peristiwa agung :  kelahiran Pangeran Siddharta, pencerahan abadi menjadi Buddha dan wafatnya Sang Buddha.  Di mana rasa hormat mereka, sebab ini adalah tempat ibadah layaknya Masjid, Gereja atau Pura?  Di mana sopan santun mereka, umat beribadah diberi pantat?

Sekali lagi, aku memang bukan Buddhis tapi hatiku menangis, untuk wajah-wajah para umat yang setenang Buddha.  
  
Sabbe satta bhavantu sukhitatta.  Semoga semua makhluk berbahagia. 



Altar utama, di pelataran sisi barat Candi Mendut


Tampak dari atas Candi Mendut

Altar di bawah kaki Dhyani Buddha Wairocana, Awalokiteswara/Padmapani (arca kiri) dan Wajrapani (arca kanan) di bilik Candi Mendut






Sedapmalam, primadona di Hari Waisak

Bunga Sedapmalam (Polianthes tuberosa)


Bunga, lilin, dupa, air dan buah adalah lima kelengkapan yang biasa disediakan oleh Umat Buddha di atas altar untuk bersembahyang.  Masing-masing memiliki makna yang berbeda, namun kesemuanya mewakili simbol 'ketidakabadian' atau annica dalam bahasa Sanskrit.

- Bunga merepresentasikan ketidakkekalan, bahwa segala sesuatu tidak ada yang abadi.  Pada saatnya semuanya akan hilang, musnah atau mati, termasuk manusia.  Hanya keburukan atau keharuman yang akan tersisa dan diingat oleh yang ditinggalkan. 
- Lilin adalah penerang yang akan membimbing manusia berbuat baik dan menuju pencerahan.  Umumnya menggunakan lilin berwarna merah dan dinyalakan sebelum dupa membakar ujung dupa. 
- Dupa dikatakan bisa memembersikan udara.  Dapat pula diartikan untuk mengundang secara langsung bathin atau hati nurani manusia untuk menghadap kepada Buddha.
- Air merupakan simbol kesucian yang dapat membersihkan pikiran, ucapan dan perbuatan manusia. 
- Buah mempunyai makna hasil dari proses kehidupan, di mana segala perbuatan akan menghasilkan yang sesuai.  Jika berbuat baik, maka hasilnya akan baik, begitu pula sebaliknya.
(Sumber : www.wihara.com, dibaca pada tanggal 27 Mei 2013 pukul 00:16)

Kuncup Sedapmalam

Di Indonesia, bunga persembahan di altar bisa bermacam-macam, wangi dan indah.  Khusus pada Perayaan Tri Suci Waisak, bunga Sedapmalam muncul sebagai bunga yang dominan.  Selain menjadi bunga persembahan di altar sembahyang bersanding dengan bunga-bunga lain, Sedapmalam digunakan oleh seluruh umat Buddha untuk dipegang di tangan selama menjalankan prosesi pujabakti Waisak.  

Perjalanan chanting dari Candi Mendut menuju Candi Borobudur, Waisak 2557/2013
Hal ini tentu sangat khas Indonesia, sebab di negara lain, bunga yang digunakan biasanya Bunga Lotus atau Padma.  Bunga ini merupakan singgasana sang Buddha saat mendapatkan pencerahan, sesuai dengan kondisi bunga Lotus yang tumbuh di lumpur kotor dan muncul dengan kecantikannya ke permukaan menggapai matahari/pencerahan.  Namun karena bunga ini tidak banyak ditanam di Indonesia, pilihan penggantinya jatuh pada bunga Sedapmalam, yang harum dan berwarna putih suci.  

Kebun bunga Sedapmalam di Jalan Pirikan, Secang, Magelang








Sabtu, 25 Mei 2013

Kembang Sal

  

Hari ini (25 Mei 2013) adalah perayaan Tri Suci Waisak 2557 yang merupakan gabungan acara peringatan 3 peristiwa penting dalam ajaran Buddha, yaitu :
  1. Lahirnya Pangeran Siddharta di Taman Lumbini pada tahun 623 S.M
  2. Pangeran Siddharta mencapai Penerangan Agung dan menjadi Buddha di Buddha-Gaya (Bodhgaya) pada usia 35 tahun pada tahun 588 S.M.
  3. Buddha Gautama parinibbana (wafat) di Kusinara pada usia 80 tahun pada tahun 543 S.M
Postingan mengenai Kembang Sal ini menjadi kontekstual dengan Hari Raya Waisak, dimana kelahiran Pangeran Siddarta ikut disertakan dalam perayaannya.  Pohon Sal ini menaungi Ratu Maya Dewi saat melahirkan putranya, Pangeran Siddharta di Taman Lumbini, tahun 623 S.M.  Sejak itu, pohon Sal menjadi vegetasi yang turut dihormati oleh umat Buddhist selain Pohon Bodhi, tanaman yang menaungi Pangeran Siddharta meraih penerangan abadi lalu menjadi Buddha.  

Kembang Sal di Vihara Mendut, ditanam di sebelah Stupa

Kembang Sal a.k.a Cannonball Flower adalah bunga yang jarang bisa ditemui.  Tidak semua tempat ibadah Buddhist yang disebut Vihara menanamnya.  Bunga dengan nama latin Sorea robusta Gaertner f. ini dapat ditemui di Vihara Mendut, beberapa meter di sebelah utara Candi Mendut, Jawa Tengah.  Pohon ini masih tergolong dalam famili dipterocarpaceae, yaitu sejenis meranti yang banyak tumbuh di kaki dan dataran sebelah selatan Pegunungan Himalaya, mulai dari Nepal, India, sampai dengan Myanmar.  

Buah Pohon Sal di Kuil Marmer atau Wat Benchamabophit, Bangkok

Kembang Sal ini unik sekali, aku menamainya bunga ubur-ubur, karena bentuknya sangat mirip. Kelopak bunganya tebal dan kaku dengan warna pink orange, dan benang sari kuning.  Bagian benang sari ini menjulur seperti kaki-kaki ubur-ubur.  

Bunga dengan wangi yang lembut ini biasanya muncul di ujung-ujung ranting tanpa daun di bagian bawah pohon, tidak seperti bunga lainnya yang tumbuh di bagian ujung atas pohon.  Ranting-ranting kering ini terlihat seperti akar yang keluar dari batang. 

Buahnya berbentuk bundar besar dengan kulit yang sedikit kasar, seperti peluru meriam yang menjadikan bunga ini dinamai Cannonball Flower dalam Bahasa Inggris.   Baru sekali itu bisa melihat buahnya saat mengunjungi Wat Bencamabophit atau Kuil Marmer di Bangkok, Thailand.  Pohon ini ditanam di belakang kuil yang banyak bagiannya menggunakan material marmer itu.  Sebelum melewati jembatan merah yang menghubungkan kuil dan tempat tinggal para bhante, pohon ini menarik perhatian dengan wangi yang meruap dan bentuk buahnya yang bundar dan besar. 

Bunga muncul di ranting-ranting tanpa daun



Jumat, 24 Mei 2013

Lele Nggeneng 'Mbah Marto'

Lele asap dibumbu mangut.  Ada dua jenis, digulung dan satunya ditusuk pakai bambu, jadinya lurus-lurus.


Sepiring nasi hangat dan seekor mangut lele.  Segelas es teh manis dan se-lodhong kerupuk.  Adalah makan siang yang dahsyat, di tempat yang luar biasa dan dimasak oleh simbah yang istimewa dengan kisah masa lalu yang beliau tuturkan menemaniku makan. 

Saat orang-orang bosan dengan makanan yang mudah dijumpai sehari-hari, tempat ini bisa menjadi alternatif pilihan yang menggiurkan.  Tempatnya mblusuk.  Sungguh warung lele milik Mbah Marto ini menjatuhkan syarat ideal keberhasilan sebuah usaha tentang lokasi strategis.  Umum diketahui, bahwa lokasi yang mudah dijangkau akan menentukan sukses tidaknya sebuah usaha.  Dan ini dijungkir balikkan oleh Mbah Sastro.  Beliau tidak memindahkan warungnya ke pinggir jalan agar orang mudah menjangkau dan menggoda orang-orang yang lalu lalang di sepanjang jalan Parangtritis untuk singgah.  Warungnya tetap di dalam kampung dengan melewati gang-gang kecil yang hanya bisa dilewati sepeda motor.  Mobil terpaksa harus diparkir agak jauh. 

Pawonnya masih menggunakan tungku dan kayu bakar


Beliau mantap tidak ingin merubah warungnya menjadi lebih 'modern' seperti restoran-restoran lainnya.   Dapur atau orang Jawa menyebutnya pawon, tetap sama dengan pawon yang telah menghidupi keluarganya sejak puluhan tahun lalu.  Rumahnya tetap sederhana, meneruskan fungsi awal ketika dibangun, sebagai ruang tinggal, bukan warung makan.  Maka tamu yang datang menyantap nasi lele di ruang tamu, di ruang tengah, di pawon, di emper (teras) dan di samping rumah.  Hampir di semua bagian rumah.  Tapi yang paling berkesan tentu makan di pawonnya.  
Duduk di amben (seperti dipan untuk duduk-duduk), di antara kepulan asap dari tungku kayu, satu tangan memegang piring dan satu tangan lainnya menyuap hingga nasi terakhir.  Tidak peduli dengan anak serta cucu perempuan Mbah Marto hilir mudik mengurus dapur.  Sementara Mbah Marto sendiri hanya ongkang-ongkang kaki dan bercerita kesana-kemari, menemani tamu-tamunya.  



Masakan lainnya : Opor ayam, terik tahu telor, brongkos, oseng daun pepaya, dan buntil


Pelanggan yang telah biasa datang, akan tahu untuk langsung menuju pawon, tempat di mana sebuah amben bambu digunakan untuk menggelar baskom-baskom blirik yang jadul itu.  Ada opor ayam yang kuahnya kering, terik tahu telor, brongkos, oseng daun pepaya dan juga buntil yang bisa dipilih dan diambil sendiri.  Tidak ada pelayanan, silakan ambil sendiri mana yang disuka.  Istimewanya, semua ini adalah masakan rumahan.   

Aku membayangkannya seperti minta makan di rumah nenek. 

Mbah Marto dan anak perempuannya yang sibuk di dapur

Adalah Mbah Marto yang telah mulai menjajakan masakannya dengan tenggok (wadhah anyaman bambu) yang digendong di punggung dengan selendang, sejak puluhan tahun lalu.  Wilayah jajahannya sangat jauh dari rumah di Nggeneng, Sewon Bantul, menembus daerah kota Yogyakarta.  Seturut bertambahnya usia dan berkurangnya tenaga untuk berjalan jauh, Mbah Marto memutuskan untuk berjualan di rumah, di tempat yang sekarang ini.  

Mengenai rahasia masakan yang terkenal ini, simbah mengolah lele dengan cara yang berbeda.  Lele tidak digoreng, tapi di-asap.  Ada dua jenis asapan, yaitu digulung dan ditusuk dengan pelepah daun kelapa sehingga bentuknya lurus.  Penggunaan pelepah daun kelapa untuk tusukannya itupun merupakan rahasia berikutnya.  Pelepah itu bersifat lembab, sehingga tidak akan gosong terbakar saat dilakukan pengasapan.  Dan pada saat pengasapan, minyak yang keluar dari pelepah membuat lele semakin terasa beda.  

Rahasia lain adalah mengenai bumbu.  Memang namanya mangut, dengan rempah dan bumbu yang sama dengan masakan sejenis, tapi Mbah Marto tidak menggunakan santan seperti mangut pada umumnya.  Rasanya tetap sama pedas dengan mangut lainnya, tapi mempunyai kisah yang unik terkait dengan masa simbah masih menggendong tenggok.  Pada waktu itu, masakan ini tidak pedas.  Namun karena ketumpahan sambal saat tenggok bergoyang mengikuti gerak tubuhnya ketika berjalan, maka akhirnya orang mengenal mangut lele yang pedas.  
Hingga hari ini, masakan ini menjadi perbincangan dan target buruan demi pengalaman makan yang unik. 



Rabu, 15 Mei 2013

Kesabaran tetes kopi a la Vietnam

Vietnam Coffee Drip

Ho Chi Minh adalah kota yang mengejutkan. Begitu sibuk, bergeliat dan seolah tergesa mengejar pencapaian yang tertunda oleh perang panjang. Demikian kesan yang kusimpulkan dari tempatku duduk, saat menyapukan pandangan ke arah jalanan. Kopi khas Vietnam ini membuatku menunggu dan memiliki kesempatan untuk mengamati situasi di sekitar, hingga jatuhnya tetes kopi terakhir.

Kopi.  Bubuk hitam dengan rasa pahit itu sangat populer sebagai minuman yang bisa dinikmati dengan berbagai macam gaya.  Dari yang paling sederhana, menubrukkannya dengan air panas, maka jadilah kopi tubruk, seperti lazim di Indonesia. Atau diproses dengan mesin canggih berikut takaran yang terukur, seperti yang disukai penikmat kopi di Eropa, menjadikan kopi semakin bergaya.  Kopi juga menjadi teman buru-buru, dikemas dalam cangkir kertas tahan panas dalam genggaman para pekerja yang tergesa-gesa di jalanan Amerika. Begitu kaya akan gaya.

Tradisi.  Sejak ditanam, dipanen, hingga diproses menjadi bubuk dan dinikmati, merupakan rangkaian panjang yang mesti diakui sebagai budaya.  Apalagi menikmati kopi sebagai tradisi yang khas turun temurun ini masih berlangsung hingga hari ini.  Ragam budaya kopi ini telah menyebar di luar batas negara untuk menggapai lidah para petualang rasa. Ia tak lagi menjadi milik negara asal. Meskipun nama negara asal biasanya tetap melekat menjadi sebutan tradisi itu.  Kedai-kedai kopi modern justru menonjolkan proses-proses tradisional dalam membuat kopi untuk pelanggan, misalnya kopi tarik khas Melayu, Espresso yang terkenal di Itali atau rebus kopi a la Turki dengan kendil tembaga.

Sementara, nun jauh di sisi paling timur dari Semenanjung Indocina, masyarakat Vietnam menikmati kopi dengan cara yang unik.  Secara internasional ia terkenal dengan nama Vietnam Coffee Drip. Adalah tetes demi tetes kopi yang dinantikan memenuhi segelas kopi kecil. Di dasar gelas telah menanti susu kental yang siap diaduk jika tetes kopi terakhir telah jatuh. Rasa manis hanya samar-samar, sebab getir kopi Vietnam sangat pekat. Kopi susu? Ya .. menjadi segelas kopi susu jika itu di Indonesia. Hanya bedanya, kopi susu membuat rasa kopi menjadi sangat lemah dibandingkan rasa manis susu. Ini menjadi jenis kopi yang kuhindari.



Setakar bubuk kopi yang dituangkan dalam cangkir saringan alumunium ditambah air panas, akan menghasilkan tetesan pekat yang memenuhi gelas dibawahnya.  Menanti tetesan terakhir memenuhi gelas adalah moment yang menguji kesabaran, bahwa kenikmatan sesungguhnya tidak ada yang instan.

Bisakah dibayangkan, menikmati prosesi yang memakan waktu 10 hingga 15 menit di tengah riuh rendah kota Ho Chi Minh?  Sungguh ini menjadi semacam perlawanan. Proses yang begitu cermat dan lambat di antara lalu lalang penduduk yang terlihat selalu bergegas di jalan kota. Menunggu tetes demi tetes yang begitu pelan di antara laju sepeda motor yang tak henti-hentinya membunyikan klakson dan tampak terburu-buru.  Bagiku, ini seperti mencicipi surga kecil. Tempat di mana laju tubuh yang selalu melesat diperlambat dan jiwa yang gelisah diberi ruang untuk sejenak hening.  Pause. Jeda.





Senin, 13 Mei 2013

Membaca identitas Singapura di Boat Quay



Singapura terlanjur terkenal dengan Marina Bay Sands, Gedung Esplanade dan Patung Merlion.  Di sekitarnya puluhan gedung-gedung modern menggapai langit menjadi latar pemandangan yang menjadi situs wajib foto bagi pelancong.  Kawasan-kawasan utama tersebut memang bisa menjadi gambaran tentang Singapura, yang modern dengan laju ekonomi pesat meninggalkan tetangga-tetangganya di Asia Tenggara.  Tapi tahukah bahwa Singapura juga memiliki identitas lain selain gedung-gedung pencakar langit?

Tak perlu meninggalkan Boat Quay, yaitu landmark wajib bagi pelancong yang sering disebut sebagai wajah Singapura.  Di depan May Bank Tower, ada patung-patung yang terlihat unik, sebab kesederhanaannya menampilkan sisi lain Singapura.  Patung beberapa buruh yang sedang mengangkat karung mungkin berisi beras atau tepung menjadi sesuatu yang bertolak belakang dengan modernitas yang ingin ditampilkan di wajah Singapura.  Tapi jika masa kini ditarik kembali jauh ke belakang, mulai abad 14 ketika kawasan ini masih dikenal sebagai Tumasek, patung-patung ini bisa jadi gambaran aktual saat itu.  Sejak abad 14 hingga 18, wilayah yang terletak di ujung Semenanjung Melayu ini secara alami telah menjadi titik temu bagi perdagangan melalui laut dari berbagai negara di sekitarnya.  Hingga Sir Stamford Raffles yang waktu itu masih menjadi Letnan Guberunur Bengkulu merasa perlu membangun wilayah ini untuk menjadi lebih mendukung perdagangan.  Pengaruhnya tak hanya negara-negara sekitar tapi meluas hingga Amerika dan Timur Tengah.  Maka patung-patung buruh yang sedang melakukan bongkar muat ini menjadi sangat relevan dengan sejarah Singapura yang ingin dihadirkan berdampingan dengan kemajuan industri saat ini.  Sekilas mereka ingin menyampaikan bahwa Singapura modern saat ini pernah dibangun dari kerja ribuan buruh yang memanfaatkan posisi strategis geografisnya dalam perdagangan melalui laut.

Patung buruh di depan May Bank Tower

Patung lain adalah sosok Gubernur Jenderal Inggris, Sir Stamford Raffles yang dikenal sebagai Bapak Pendiri Singapura modern.  Patungnya dibuat tinggi menjulang dengan warna putih yang pucat di sekujur tubuhnya, menandai titik pertama Raffles menginjakkan kaki di Singapura pada tanggal 29 Januari 1819 dan menjejakkan gagasan tentang Singapura modern.  Lokasi ini dikenal sebagai Raffles's Landing Site. Terdapat 4 prasasti di setiap sisi dinding tugu tempat di mana patung ini berdiri.  Dari setiap prasasti menuliskan hal yang sama dalam bahasa yang berbeda, yaitu Bahasa Inggris, Bahasa Melayu, Bahasa China dan Bahasa India.  Inkripsi tersebut merupakan penghormatan dan ungkapan kekaguman terhadap Raffles yang telah berhasil merubah kampung nelayan menjadi pelabuhan besar dan kota metropolis :

"On this historic site, Sir Thomas Stamford Raffles first landed in Singapore on 28th January 1819, and with genius and perception changed the destiny of Singapore from an obscure fishing village to a great seaport and modern metropolis." 

Raffles's Landing Site, 29 Januari 1819

 
Inkripsi dalam 4 bahasa : Inggris, Melayu, China dan India

Di sisi yang lain terdapat patung Raffles tengah duduk dan seolah berbicara dengan dua orang penduduk asli Singapura.  Keduanya dalam posisi berdiri.  Dari pakaian tradisional yang mereka kenakan, langsung bisa dikenali bahwa salah satunya adalah warga Melayu dengan peci di kepala dan sarung menutup tubuh bagian bawah.  Sementar satunya lagi adalah warga China yang mengenakan baju berkerah dan berkancing China serta kopiah bundar yang khas.  Dari patung-patung ini, ada yang ingin disampaikan bahwa, Raffles sebagai wakil dari koloni Inggris telah membangun interaksi yang baik dengan warga setempat.  Jelas bahwa China dan Melayu merupakan penduduk asli yang telah lama berbagi ruang ekonomi, sosial, politik, agama dan budaya di Singapura.  Mestinya masih harus dihadirkan satu lagi patung warga India.  Karena ketiganya ini merupakan penduduk asli dan sekaligus tiga entitas yang membentuk identitas nasional Singapura.  Konon, telah sejak lama, mereka berbagi ruang hidup.  Masyarakat Melayu menguasai pekerjaan dalam pemerintahan, warga China menguasai perekonomian serta industri, sementara warga India berkontribusi dalam perdagangan.  Tidak heran ketiga bahasa ini digunakan bersama dalam menulis prasasti penting tentang Raffles selain Bahasa Inggris yeng sebenarnya bukan bahasa nasional tapi paling sering digunakan oleh warga Singapura.

Raffles berbicara dengan warga Melayu dan China



Catatan Mama :
Meskipun tidak dihadirkan bersama berbicara dengan Raffles, tapi wakil pemimpin India yang tersohor, Perdana Menteri Jawaharlal Nehru dibuatkan patung pula dan diletakkan di kawasan industri nomer satu di Singapura ini.