Rabu, 15 Mei 2013

Kesabaran tetes kopi a la Vietnam

Vietnam Coffee Drip

Ho Chi Minh adalah kota yang mengejutkan. Begitu sibuk, bergeliat dan seolah tergesa mengejar pencapaian yang tertunda oleh perang panjang. Demikian kesan yang kusimpulkan dari tempatku duduk, saat menyapukan pandangan ke arah jalanan. Kopi khas Vietnam ini membuatku menunggu dan memiliki kesempatan untuk mengamati situasi di sekitar, hingga jatuhnya tetes kopi terakhir.

Kopi.  Bubuk hitam dengan rasa pahit itu sangat populer sebagai minuman yang bisa dinikmati dengan berbagai macam gaya.  Dari yang paling sederhana, menubrukkannya dengan air panas, maka jadilah kopi tubruk, seperti lazim di Indonesia. Atau diproses dengan mesin canggih berikut takaran yang terukur, seperti yang disukai penikmat kopi di Eropa, menjadikan kopi semakin bergaya.  Kopi juga menjadi teman buru-buru, dikemas dalam cangkir kertas tahan panas dalam genggaman para pekerja yang tergesa-gesa di jalanan Amerika. Begitu kaya akan gaya.

Tradisi.  Sejak ditanam, dipanen, hingga diproses menjadi bubuk dan dinikmati, merupakan rangkaian panjang yang mesti diakui sebagai budaya.  Apalagi menikmati kopi sebagai tradisi yang khas turun temurun ini masih berlangsung hingga hari ini.  Ragam budaya kopi ini telah menyebar di luar batas negara untuk menggapai lidah para petualang rasa. Ia tak lagi menjadi milik negara asal. Meskipun nama negara asal biasanya tetap melekat menjadi sebutan tradisi itu.  Kedai-kedai kopi modern justru menonjolkan proses-proses tradisional dalam membuat kopi untuk pelanggan, misalnya kopi tarik khas Melayu, Espresso yang terkenal di Itali atau rebus kopi a la Turki dengan kendil tembaga.

Sementara, nun jauh di sisi paling timur dari Semenanjung Indocina, masyarakat Vietnam menikmati kopi dengan cara yang unik.  Secara internasional ia terkenal dengan nama Vietnam Coffee Drip. Adalah tetes demi tetes kopi yang dinantikan memenuhi segelas kopi kecil. Di dasar gelas telah menanti susu kental yang siap diaduk jika tetes kopi terakhir telah jatuh. Rasa manis hanya samar-samar, sebab getir kopi Vietnam sangat pekat. Kopi susu? Ya .. menjadi segelas kopi susu jika itu di Indonesia. Hanya bedanya, kopi susu membuat rasa kopi menjadi sangat lemah dibandingkan rasa manis susu. Ini menjadi jenis kopi yang kuhindari.



Setakar bubuk kopi yang dituangkan dalam cangkir saringan alumunium ditambah air panas, akan menghasilkan tetesan pekat yang memenuhi gelas dibawahnya.  Menanti tetesan terakhir memenuhi gelas adalah moment yang menguji kesabaran, bahwa kenikmatan sesungguhnya tidak ada yang instan.

Bisakah dibayangkan, menikmati prosesi yang memakan waktu 10 hingga 15 menit di tengah riuh rendah kota Ho Chi Minh?  Sungguh ini menjadi semacam perlawanan. Proses yang begitu cermat dan lambat di antara lalu lalang penduduk yang terlihat selalu bergegas di jalan kota. Menunggu tetes demi tetes yang begitu pelan di antara laju sepeda motor yang tak henti-hentinya membunyikan klakson dan tampak terburu-buru.  Bagiku, ini seperti mencicipi surga kecil. Tempat di mana laju tubuh yang selalu melesat diperlambat dan jiwa yang gelisah diberi ruang untuk sejenak hening.  Pause. Jeda.





Tidak ada komentar:

Posting Komentar