Ujian Umat Buddha : panas terik matahari dan gerombolan fotografer
Siang itu, hanya kurang beberapa menit menjelang Detik-detik Waisak 2557 BE, aku baru turun dari mobil dan hampir berlari dari sisi timur menuju pelataran Candi Mendut. Hampir terlambat sebab jalanan macet sejak Muntilan dari arah Jogja, dan harus memutar dari Blondo karena jalan menuju Candi Mendut dari perempatan Palbapang ditutup.
Sudah tidak ada tempat untuk duduk, kecuali diatas karpet kuning yang memang sengaja dikosongkan untuk lalu lalang umat. Beberapa umat yang terlambat tidak mempunyai pilihan lain selain duduk di bagian jalan ini, termasuk aku.
Aku melirik ke sebelah kanan dan kiriku. Umat yang terlambat, duduk di atas karpet yang tidak dinaungi tenda. Sangat panas karena matahari terik tepat di atas kepala, dan harus berbagi ruang dengan para fotografer yang masih saja hilir mudik. Ya, para fotografer masih sibuk kesana-kemari di depan kami, beberapa bahkan melompati kami yang duduk di jalan. Sementara semua umat Buddha telah duduk bersila dengan rapi dan khidmat, menunggu aba-aba meditasi bersama pada detik-detik Waisak.
Aku bukan Buddhis, tapi selalu berusaha untuk bisa mengikuti meditasi pada detik-detik Waisak. Bersama umat, aku hening di antara pengunjung dan fotografer yang lalu lalang dan beberapa dari mereka memberi pantat pada kami, berdiri tepat di depan umat yang duduk dengan sikap anjali. Mereka mencari posisi yang sekiranya bagus untuk bisa membidik para bikhhu dan bikkhuni yang duduk jauh di depan kami.
Ironis sekali. Aku melihat pada wajah-wajah tenang di sekitarku. Umat
Buddha yang datang dari jauh, merayakan peringatan Tri Suci Waisak
setahun sekali bersama-sama dengan umat lain dari berbagai daerah. Mereka
melihat dan memperhatikan ulah pengunjung dan fotografer dengan diam.
Mereka mencoba tidak terusik dengan mereka yang menenteng kamera pocket,
kamera (D)SLR sampai kamera sumper canggih seperti bazooka. Tetap
berusaha khidmat meski banyak sekali kamera yang mengarah pada mereka.
Entah dimana rasa rasa empati mereka, para fotografer itu? Ini adalah prosesi suci, pertemuan pribadi-pribadi dengan spirit Buddha dalam 3 peristiwa agung : kelahiran Pangeran Siddharta, pencerahan abadi menjadi Buddha dan wafatnya Sang Buddha. Di mana rasa hormat mereka, sebab ini adalah tempat ibadah layaknya Masjid, Gereja atau Pura? Di mana sopan santun mereka, umat beribadah diberi pantat?
Sekali lagi, aku memang bukan Buddhis tapi hatiku menangis, untuk wajah-wajah para umat yang setenang Buddha.
Sabbe satta bhavantu sukhitatta. Semoga semua makhluk berbahagia.
Altar utama, di pelataran sisi barat Candi Mendut |
Tampak dari atas Candi Mendut |
Altar di bawah kaki Dhyani Buddha Wairocana, Awalokiteswara/Padmapani (arca kiri) dan Wajrapani (arca kanan) di bilik Candi Mendut |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar