Senin, 27 Mei 2013

#2 - Pujabakti Waisak 2557 BE di palataran Candi Borobudur




Perayaan Hari Trisuci Waisak 2557 Buddha Era di pelataran Candi Borobudur

Ujian umat Buddha : 
hujan, tamu kehormatan terlambat datang dan pengunjung yang gelisah


Sabtu 26 Mei 2013, rintik hujan menjadi semakin deras saat senja mulai menghilang digantikan oleh malam.  Gelap segera menyeliputi pelataran yang tanpa penyinaran lampu listrik.  Cahaya hanya berasal dari purnama yang menggantung di langit mendung menyinari ribuan kepala.  Mereka adalah para bikkhu dan bikkhuni yang duduk bersila paling dekat dengan badan candi.  Berikutnya para umat Buddhis dan kemudian para pengunjung di bagian yang semakin jauh dari candi.  Di sela-selanya para fotografer menyebar di titik-titik yang tidak menentu, sporadis.  
Ketika senja benar-benar menghilang, lampu-lampu di sekitar Stupa Utama Candi Borobudur mulai dinyalakan.  Dalam gelap, candi yang terbuat dari batu andesit itu nampak seperti gundukan bukit dengan puncak berupa stupa yang bersinar.  Saat itulah payung-payung mulai dimegarkan, mantel-mantel hujan mulai dikenakan.  Tetes air semakin kerap dan besar-besar.  Hujan.  


Saat senja mulai menghilang, saat itu pula gerimis datang.  Payung-payung mulai dikembangkan.


Kupandang bulan bundar yang pucat.  Sesekali dia menghilang tertutup mendung -awan berat memuat air yang terus digerakkan oleh angin.  Sangat muram.  Kemudian dingin menyergap ketika kuyup menempel pada tubuh-tubuh yang bertahan, tak bergeming.  Semenit, dua menit, sejam lalu dua jam berlalu.  Pengunjung mulai gelisah sebab dingin, basah dan prosesi pujabakti yang tak kunjung dimulai.  dari hanya sekedar bisik-bisik, kasak kusuk lalu semakin deras hujannya semakin menjadi keluh kesah yang tak sopan didengar.  Mereka tak sabar menunggu acara dimulai lalu ditutup dengan pelepasan lampion.  

Altar Pujabakti Waisak dan Stupa Borobudur yang bersinar


Lampion!  Pengunjung hanya menunggu kapan acara pelepasan lampion akan tiba, kenapa lama sekali? Demikian keluh kesah yang ramai terdengar, selain mengeluhkan hujan yang tak kunjung reda.   Pengunjung gelisah.  Aku merasakan mereka mulai lalu lalang, mulai berbicara, bercanda keras-keras, dan mulai menunjukkan sikap-sikap yang tidak simpatik.  

Setelah lewat pukul 20.00, panitia mulai menenangkan umat dan pengunjung untuk tetap bertahan.  Dengan mengingatkan penderitaan Sang Buddha, diharapkan umat menjadi lebih tenang dalam menunggu dan bertahan dari dingin serta hujan.  Dikabarkan juga, bahwa prosesi akan segera dimulai setelah tamu kehormatan yaitu Menteri Agama RI Bp. Suryadharma Ali, Gubernur Jawa Tengah Bp. Bibit Waluyo, beserta rombongan pejabat undangan lainnya, tiba di lokasi.  
Pengunjung justru semakin keras mengeluh saat mereka mengetahui apa penyebab mereka harus menunggu lama.  Mereka berteriak dari segala penjuru : 'Huuuuuuuuu'.

Nun, jauh di barisan depan, umat Buddhis tetap duduk menyilakan kaki berhadapan dengan para bikhu, biksu dan biksuni yang hanya mengenakan jubah panjang berwarna oranye tua, coklat dan merah marun yang gelap.  Mereka adalah yang sungguh-sungguh bertahan.  Sebab ini peringatan Tri Suci Waisak.  Upacara yang mengingatkan mereka akan penderitaan Buddha sebelum mendapatkan pencerahan.  Bagaimana mereka mengeluh saat itu jika mengingat perjuangan Buddha menjalani semua dukkha yang jauh lebih berat dibandingkan derita dingin, hujan serta menunggu? Mereka tetap hening.

Puncak kegaduhan adalah saat tamu kehormatan berjalan menuju altar, membelah lautan manusia dinaungi payung serta terbungkus mantel hujan warna-warni.  Mereka disambut oleh teriakan huuuu dari pengunjung yang terlihat kecewa dan marah.  Menyedihkan.  Para pejabat itu menyedihkan.  Para pengunjung itu menyedihkan pula.  Apapun alasannya, mereka telah membuat para umat dan pengunjung menunggu sangat lama dalam curahan hujan dan dingin yang mulai menembus kulit.  Menyedihkan lagi saat tak ada kata maaf yang keluar dari bibir para pejabat saat membacakan sambutan pembukaan prosesi. 
Para pengunjung itu sama saja menyedihkan.  Dingin, basah dan prosesi yang telat dimulai, membuat mereka geram karena mengacaukan harapan indah tentang pelepasan lampion yang meriah dan eksotis.  Bagaimana bisa?  Bukankah mereka hanya datang dan menonton?  Acara ini bukan milik mereka, kenapa mesti marah dengan sesuatu yang tidak sesuai harapan mereka?  

Malam semakin tua, hujan semakin deras, kuyup semakin membuat gigil.  Sambutan demi sambutan makin mendekatkan pada puncak acara, yaitu pelepasan lampion.  Pengunjung justru semakin gelisah, mereka berdiri dengan payung-payung mengembang sebab karpet kuning telah mulai basah.  Aku yang tetap duduk, hilang di antara tubuh-tubuh yang menjulang dan hilir mudik pengunjung yang semakin meringsek maju.  Aku tetap dalam dudukku semula, mendengarkan paritta dalam berbagai bahasa yang tidak aku mengerti.  Aku memang tidak mengerti sedikitpun, aku hanya yakin bahwa itu kalimat-kalimat suci yang menghubungkan manusia dengan Buddha dan semesta raya.  Adakah yang lebih indah dari persembahan manusia terhadap semesta?

Pelepasan lampion batal dilaksanakan.  Hujan yang semakin deras tidak memungkinkan lampion-lampion harapan itu diterbangkan ke langit.  Bisa dibayangkan kekecewaan pengunjung.  Bisa dibayangkan pula kekecewaan para fotografer yang pulang tanpa membawa hasil foto 1.000 lampion yang beterbangan menuju awan.

Hanya umat Buddha dan mereka yang menyadari esensi peringatan Tri Suci Waisak saja yang tetap merasa terberkati, bersyukur bisa menghadiri perayaan yang secara nasional dipusatkan di Candi Mendut, Candi Pawon dan Candi Borobudur.  Tanpa lampion harapan yang dilepaskan malam itu, umat Buddha tetap menggenggam harapan.  Sebab harapan mereka telah melekat dalam sembahyang dan sikap-sikap meditatif.  Mereka menghidupi harapan meski tanpa lampion.

Sabbe Satta Bhavantu Sukhitatta.  Semoga semua makhluk berbahagia.  
_/\_









3 komentar: