Rabu, 19 Juni 2013

Sensasi Bubuk Kopi dan Gula di Ujung Lidah

: based on true story

Gadis cilik itu merasa perlu bergegas bangun saat rumah Mbah Ibu mulai gaduh di pagi hari.  Rumah yang hanya didatanginya saat liburan sekolah itu riuh dengan suara ayam di kandang belakang rumah atau suara solet dan penggorengan beradu di pawon.  Suasana pagi rumah di desa seperti ini selalu berhasil membangunkan tidurnya yang lelap dan lama.  

Setelah pipis, biasanya dia berlarian menuju pekarangan depan rumah Mbah Ibu -istri sambungan Almarhum Simbah Kakung setelah istri pertama meninggal saat bapak belum genap menjadi remaja.  Kaki-kaki kecilnya berhenti di sekitar salah satu dari beberapa batang pohon kopi.  Di bawahnya, dia akan betah berlama-lama.  Pagi hari adalah saat bunga-bunga kopi yang berwarna putih itu menebarkan bau wanginya ke segala arah.  Gadis cilik itu mabuk wangi bunga kopi.

Perkenalannya dengan biji kopi memang dimulai sejak kecil.  Dia mengenali pohonnya yang lebih tinggi dari tubuhnya, daunnya yang lebar, bunganya yang wangi, dan butir-butir hijau yang menguning lalu menjadi merah.  Mbah Ibu mengumpulkan butir-butir itu di tampah, menjemurnya hingga menghitam karena kering.  Beberapa kali gadis cilik itu melihat nenek yang dipanggilnya Mbah Ibu itu menyangrai biji-biji hitam menggunakan penggorengan dari gerabah di atas tungku.  Sekali lagi, wanginya membuatnya mabuk. 

Selanjutnya Mbah Ibu akan menumbuk sendiri biji-biji yang gosong itu menjadi bubuk.  Menuangkan ke dalam toples kaca bertuliskan KOPI lalu merapatkan tutupnya yang merah.  Toples kopi telah penuh kembali.  Dan akan segera habis setelah ibu, bapak, para paklik, mbokdhe dan Mbah Ibu sendiri mengambilnya sesendok demi sesendok.  Pagi, siang, sore, hingga malam hari mereka terus mengambilnya, hingga se-toples kopi itu tak pernah tahan hingga seminggu.

Jadi, jangan salahkan pergaulan jika akhirnya gadis cilik itu begitu menikmati kopi.  Karena budaya minum kopi telah disaksikannya sepanjang waktu sejak masa kecil.  Semula memang hanya menyaksikan seluruh isi rumah Mbah Ibu menyeduh kopi dan menikmatinya dalam segala suasana.  Sampai akhirnya dia tak hanya melihat tapi juga merasakan sendiri bagaimana pekat kopi mulai menimbulkan sensasi di mulut dan kerongkongannya.  

Saat itu, di rumah bapak ibunya di kota.  Setiap pagi, ibu selalu menjerang air panas untuk mengisi termos.  Sambil menunggu air mendidih, ibu menyiapkan dua buah gelas yang diisi gula dan bubuk kopi.  Segelas untuk bapak dan segelas lainnya untuk ibu sendiri, yang akan diminum sebelum berangkat kerja.  Setelah menyiapkan itu, ibu akan pergi mandi yang selesainya tepat saat air dalam ceret mendidih.  Ibu mengisi penuh-penuh termos berwarna merah dan sisanya untuk memenuhi dua gelas kopi yang telah menunggu tadi.  

Nah, saat ditinggal mandi itulah si gadis cilik itu biasanya mengaduk bubuk kopi dan gula di dalam gelas agar tercampur dengan sendok teh.  Dan, sluurp! Lidahnya menjilat ujung sendok yang penuh dengan bubuk kopi serta gula.  Campuran itu menempel di lidah, lalu dikulum hingga perlahan gula mencair.  Manis.  Juga pahit.  Tapi dia suka dan sering sekali mengulangnya jika tidak ketahuan bapak.  Karena bapak akan melarangnya melakukan itu. Gadis cilik itu mabuk bubuk kopi dan gula!

Maka, sekali lagi jangan salahkan jika akhirnya pada saat dia dewasa, paduan wangi bubuk kopi dengan warnanya yang pekat dan rasa yang getir itu memabukkannya.  Berbagai macam kreasi penyajian kopi telah dicoba, dan hanya secangkir kopi hitam yang tidak pernah mengecewakan seleranya.  Semakin dewasa, takarannya semakin paten, tak pernah berubah.  Satu sendok penuh bubuk kopi (menggunung) dan dua sendok peres gula (datar) untuk satu cangkir kecil air panas.  Ya, air panas, bukan air mendidih yang langsung dituangkan ke dalam cangkir.  Perlu semenit atau dua untuk mendiamkan agar menghasilkan air panas yang tidak membuat bubuk kopi berasa gosong. 

Takaran memang bisa saja berubah-ubah menyesuaikan dengan asal kopinya.  Tapi, sejak berumur 34 tahun, takaran ini sudah sangat dia percaya mampu mengatasi seleranya meskipun bubuk kopi yang ditakar berasal dari berbagai daerah.  Seorang teman yang juga peminum kopi, berasal dari Bali, membagikan resep cara menyeduh secangkir kopi yang enak.  Biasanya takaran ini berhasil untuk setiap jenis kopi dari manapun, katanya.  Dan benar, seleranya sama! Satu sendok bubuk kopi dan dua sendok gula untuk secangkir kecil kopi yang pas, sedikit sensasi manis dalam getir kopi.

1 kopi 2 gula !





Minggu, 16 Juni 2013

Bangsa Khmer Menyelamatkan Teks

Bagaimana setiap generasi terhubung? 
Salah satunya adalah melalui teks.

Ada kesedihan saat catatan elektronik yang kubuat lenyap, tanpa back-up, saat laptop lamaku itu tiba-tiba mati selamanya.  Peristiwa-peristiwa selama dua tahun yang telah kuubah dalam teks yang hilang itu menjadi pemutus jejak, a missing link.

Kasus seorang teman, bumi seperti terbalik ketika mendadak laptopnya tidak mau bekerja.  Rumusan masalah dan analisa  yang menghabiskan 3 hari kerja otak, lenyap! Dunia terasa gelap, sebab kini harus meraba-raba kembali setiap tahap yang telah dikerjakan.  Memanggil sepenuhnya ingatan untuk menyusun kembali data yang telah hilang.
Hampir semua orang pernah mengalaminya.  Kehilangan data, cerita, kenangan, apapun itu, selalu menghadirkan kekosongan yang menyedihkan. 
Mari melangkah surut, pada 3 dari sekian banyak peristiwa yang mengingatkan bagaimana rasa kehilangan mendalam sejumlah teks penghubung antar generasi. 

# 13 Oktober 1965, pembakaran data dan karya Pramoedya Ananta Toer. 
Kabarnya, dia membawa dendamnya hingga meninggal pada tentara, saat kliping tentang Indonesia yang telah dikumpulkan selama belasan tahun dibakar bersama dengan beberapa karya teks-nya.  Dia sudah mengiba pada tentara agar tidak membakar, tapi menyerahkan kepada arsip negara untuk disita atau disimpan.  Tidak untuk dimusnahkan. Tapi tetap, api menghabiskan data dan karya teks Pramoedya.

Mundur lagi ke belakang.

# 1812, Geger Sepehi/Sepoy.  
Saat itu Inggris dibawah Raffles menyerang Keraton Yogyakarta pada masa jumeneng Sultan HB II.  Pasukan Gurka utusan Inggris berhasil membobol Keraton dan merampas kekayaaan yang dimilikinya saat itu, termasuk manuskrip-manuskrip kuno.  Seperti yang dikatakan Sultan HB X, waktu itu, setiap hari sekitar lima gerobak naskah kuno diambil selama satu minggu berturut-turut dan dibawa ke London. Naskah itu berisi tentang tari-tarian ataupun karya-karya pujangga keraton. Lebih dari 7.000 judul naskah kuno Keraton Yogyakarta dibawa ke Inggris sehingga manuskrip kuno pada masa HB I dan HB II nyaris hilang. Saat ini, di Perpustakaan Widya Budaya Keraton Yogyakarta tersisa 363 naskah (Kompas, 7 Agustus 2010).

Jauh lagi ke belakang, ratusan tahun lalu.

# Abad 12, Angkor Wat, Cambodia.  
Budaya menulis bangsa Khmer di Cambodia bisa disaksikan dari bekas bangunan perpustakaan yang ada di  Angkor. Gedung perpustakaan selalu dibangun sepasang, baik itu di Angkor Wat, di kompleks Bayon di Bapuon, maupun di Banteay Srei.  Diduga, dalam bangunan yang terpisah dari candi utama inilah manuskrip-manuskrip kuno bangsa Khmer disimpan dalam bentuk teks di atas lontar.  Saat ini kita hanya bisa menyaksikan bangunan perpustakannya saja, sebab semua lontar yang hanya bisa bertahan 100-150 tahun itu telah hancur dimakan usia dan musnah karena berbagai sebab.  

Manuskrip kuno di atas lontar.  Inilah lembar ramalan tentang aku dari seorang peramal di ruang utama Angkor Wat.

Agak melegakan saat mengunjungi candi-candi itu dan mendapati manuskrip-manuskrip kuno dipahat di dinding dan pilar-pilar.  Aku trenyuh sendiri saat meraba huruf-huruf Pali, Sanskrit dan juga bahasa Khmer diukir halus dan rapi di batu. Bangsa Khmer kuno mengukirkan inskripsi pada batu-batu keras yang abadi tentang  pengetahuan, cerita kehidupan sehari-hari, catatan peristiwa besar serta mantra-mantra pemujaan kepada para dewa dan raja.  Mereka telah menyelamatkan teks! Betapa mereka telah menghubungkan setiap generasi sejak ratusan tahun lalu.  

Salah satu pilar di Angkor Wat

Inskripsi di dinding pintu Keone Wat

Inskripsi di dinding Elephant Terrace, kompleks Angkor

Gedung perpustakaan sisi selatan area Angkor Wat dan seorang bikku duduk di pintu masuk.



Rabu, 12 Juni 2013

Antara Aku, Bapak dan Pramoedya Ananta Toer

Buku-buku yang dipilih bapak dari rak bukuku

 Akhir pekan lalu, bapak bersama ibu datang dan menginap di rumah.  Dengan menyetir mobil sendiri dari Magelang merupakan tanda bahwa bapak sehat dan bersemangat. Pertemuan keluarga seperti biasa diwarnai dengan tukar menukar cerita kejadian-kejadian selama kami tidak bertemu.  Namun ada yang berbeda kali itu, saat bapak tumben-tumbenan berkenan melihat koleksi buku-bukuku. Beberapa diambilnya, dibaca judul dan mungkin penulisnya, lalu membolak-balik satu dua halaman, kemudian dikembalikan ke tempatnya lagi.  Setelah sejumlah buku hanya diperhatikan sekilas, ada 3 buku yang akhirnya dikeluarkan dari rak.  

Buku pertama berjudul 'Jejak Sang Pembangkang' yang ditulis Frigidanto Agung (2004).  Aku tahu, judulnya pasti menarik keingintahuan bapak.  Saat bapak masih berdinas di kesatuan Angkatan Darat, tentu orang-orang dengan predikat pembangkang mungkin akan menempati daftar orang yang harus 'diamankan'.  Kata di-aman-kan, yang menurut Pramoedya Ananta Toer -selanjutnya akan aku sebut Pak Pram-, berarti dianiaya, sama sekali tidak punya sangkut-paut dengan aman dan keamanan.  Demikian pengalaman mengajarkan pada Pak Pram tentang makna 'diamankan', yang dimuat dalam 'Surat Terbuka Pramoedya Ananta Toer kepada Keith Foulcher' di Jakarta pada 5 Maret 1985.

Berikutnya bapak membaca sebuah buku cukup tebal dengan lebih perhatian.  '500 Tahun Timor Loro Sae' yang ditulis Geoffrey C. Gunn (2005) membuat bapak bertahan cukup lama membaca, bahkan dilanjutkan pada keesokan harinya.  Tidak aneh, jika bapak menganggap buku itu penting, mengingat bapak pernah bertugas di sana sekitar tahun 1977-1978.  Timor Timur telah ikut menjalin sejarah dalam kehidupan bapak.  Peristiwa apapun mengenai wilayah yang pernah diperjuangkan dengan darah para prajurit seperti dirinya untuk menjadi propinsi ke-27 RI itu, sangat menarik perhatiannya. Saat aku menulis skripsi di tengah-tengah gejolak Referendum tahun 1999, bapak banyak bertanya mengenai apa yang aku ketahui dan analisa yang kubuat.  Tugas akhir berjudul 'Pengaruh Media Massa dalam Kebijakan Luar Negeri, Studi Kasus Hubungan Indonesia-Australia' itu memang menyeret Timor Timur sebagai elemen dominan yang mewarnai pengambilan kebijakan luar negeri kedua negara bertetangga itu.  Saat itu aku maklum ketika bapak menjadi ikut tegang memantau nasib Timor Timur melalui referendum, merdeka atau tetap menjadi bagian dari Indonesia.  Jika Timtim -begitu bapak selalu menyebut Timor Timur- merdeka, aku bisa merasakan kesia-siaan bapak pernah mengesampingkan keluarga saat ditinggal 'berperang'.  
Di sisi lain, logikaku mengatakan bahwa kasus Timor Timur telah berubah menjadi semacam 'entrapment'.  Pemerintah RI telah terjebak untuk terus mempertahankan apa yang telah diperjuangkan sejak 24 tahun lamanya (1975-1999).  Sudah terlalu banyak yang dikorbankan oleh negara ini.   Daripada semua menjadi sia-sia, negara ini terus mempertahankan dengan segala cara, fisik dan diplomasi.  Padahal, sesungguhnya apa yang dipertahankan itu tidak sebanding.  

Terhitung beberapa malam tiap aku meninggalkan kos di Jogja untuk pulang ke rumah, di tengah masa penggarapan skripsi, kuhabiskan dengan berdiskusi dengan bapak mengenai Timor Timur.  Saat itu aku lebih mengenal bapak dari sisi yang tak pernah kuketahui sebelumnya.  Tentang masa kelam saat bertugas yang turut membentuknya menjadi seperti sekarang.  Di antara obrolan serius mengenai perkembangan politik Timor Timur, bapak sesekali menyelipkan kisah-kisah manusiawi para prajurit.  Termasuk diceritakan pula tentang dirinya, seorang militer yang juga memiliki kehidupan sipil, sebagai suami dan bapak dari anak-anaknya, aku dan adikku. 
Waktu itu aku masih berusia 2 tahun dan adikku masih dalam kandungan ibu.  Operasi Seroja namanya, telah memisahkan sementara kami sekeluarga, hingga ibu melahirkan adik prematur.  Berita mengenai tewasnya beberapa prajurit dari kesatuan bapak membuat ibu panik karena tak mendapat kabar apapun mengenai keselamatan bapak.  Adikku satu-satunya itu lahir belum cukup umur tanpa ditunggui bapak yang bertugas di kota Ermera.  Entah apa maksudnya, mungkin untuk mengenang kota itu, nama adikku ditambah dengan Ermerawan di bagian paling belakang.  Saat kembali dari Timtim aku tidak mengenal bapak sama sekali, karena bapak berangkat tugas ketika aku masih terlalu kecil untuk mengingatnya.  Aku tidak mengenal sosok 'bapak' ada dalam keluargaku, sampai bapak pulang dari bertugas.  Pada bagian ini, ibu menambahkan cerita.  Bapak membelikan banyak sekali permen dan mainan agar mudah 'mendekatiku' lalu memberitahuku pelan-pelan bahwa sosok laki-laki asing itu adalah bapakku.

Buku ketiga yang menarik bapak adalah 'Pramoedya Ananta Toer, Dari Dekat Sekali.  Catatan Pribadi Koesalah Soebagyo Toer' (2006).  Aku memperhatikan bapak tak kalah serius membaca buku ini, jika dibandingkan dengan buku Timor Loro Sae tadi.  Semula aku tidak yakin, bapak memang sengaja mengambilnya dari rak karena bapak mengenal nama di judul buku itu, Pak Pram.  Tapi kemudian sungguh aku terkejut saat bapak merasa sudah cukup membaca, meletakkan kaca mata dan buku itu di meja, lalu bercerita kepadaku.
"Orang ini sudah akan ditembak saat turun dari kapal yang membawanya pulang dari Pulau Buru di pelabuhan Semarang." kata bapak.
"Tapi nggak jadi, karena orang ini sudah bebas." lanjut bapak.
"Kenapa Pak Pram mau ditembak?" tanyaku.  Sungguh ini kejutan yang membuatku merinding seketika, bahwa bapak mengenal nama ini, bahkan pernah bertemu langsung dengannya!
"Sebab, saat keluar dari badan kapal, di hadapan kami -para tentara, orang ini berteriak : Hidup PKI!" kata bapakku dengan berteriak dan mengacungkan kepal tangan kanannya ke atas. Kuduga bapak menirukan persis gaya Pak Pram saat meneriakkan itu.  Aku merasakan sedikit getar emosinya.

Duh bapak, anak perempuanmu ini terpikat pemikiran orang yang mau ditembak itu, dan menyimpan beberapa bukunya di rak lain.

Sungkem bapak ..



Senin, 10 Juni 2013

Gerobak kopi di Bangkok




Jalanan Bangkok sangat padat siang itu.  Siang itu?  Tidak hanya siang itu aku yakin tiap hari kota ini pasti selalu hiruk pikuk. Kota ini sangat sibuk dengan perpindahan manusia-manusianya dengan sepeda motor, tuk-tuk, mobil, bis, skytrain, sampai kapal yang menyeberangi sungai yang membelah Bangkok, Chao Phraya.  Suasana mirip kota-kota besar di Indonesia, ramai dan serba tergesa, meskipun jarang terdengar klakson yang mengagetkan dan menyakitkan telinga.  Ya, Bangkok memang berbeda dengan kota-kota lain mengenai klakson ini.  

Dan di siang yang hiruk pikuk, Bangkok tetap menyediakan tempat-tempat sederhana di pinggiran jalannya. Gerobak buah potong, gerobak jus buah dan gerobak kopi.  Dua jenis gerobak yang disebut pertama itu sangat menyelesaikan masalah yang terkait dengan panas dan bisingnya kota Bangkok.  Tapi gerobak kopi?  Menikmati segelas atau secangkir kopi panas di hari yang terik tentu bukan pilihan yang asyik.  Tapi, Bangkok memiliki apapun yang dibutuhkan oleh pengunjungnya.  Siang yang panas di kota sesibuk Bangkok akan terasa sedikit melegakan jika dihadapi dengan es kopi.  Ya, es kopi adalah minuman paling favorit dari sebuah gerobak kopi yang banyak tersebar  di segala penjuru kota itu.

Gerobak kopi di seberang Grand Palace, Bangkok


Kopi yang disajikan dingin dengan es batu bisa jadi memang untuk menjawab kondisi kota Bangkok yang panas.   Efeknya tentu menyegarkan.    Masyarakat setempat biasa menikmati es kopi hitam dengan gula atau dengan susu kental manis, ini racikan yang umum dan dapat ditemui di manapun.   Yup, di manapun.  Sebab gerobak kopi yang menyediakan fresh coffee atau yang bukan kopi instan ini mudah sekali ditemui di sudut-sudut kota Bangkok.  

Fresh Coffee


Seperti juga negara-negara di Asia Tenggara lainnya, Thailand adalah negara peminum teh.  Kebudayaan minum teh lebih tua ketimbang kopi.  Thailand menjadi lebih terbuka dengan kopi saat terseret arus ‘gelombang kopi kedua’ yang melanda secara global.  Kopi yang semula dinikmati di lingkungan domestik atau di dalam rumah dikatakan gelombang kopi pertama.  Kondisi ini bergeser ketika komoditas kopi melonjak saat biji hitam yang mengandung kafein ini ‘keluar’ dari statusnya yang domestik menjadi  minuman sosial.  Kopi hadir menjadi kawan dalam interaksi sosial, dinikmati secara komunal di tempat-tempat publik, yang kemudian kita kenal sebagai kedai kopi.   Gejala ini menggantikan bir dan anggur di negara-negara Eropa.  Kebutuhan akan biji kopi menjadi berlipat dari angka yang tadinya cukup untuk memenuhi kebutuhan kopi di rumah-rumah, kemudian meningkat harus cukup untuk memasok kedai-kedai kopi yang mulai tumbuh.  

Thailand tidak mengalami tanam paksa Van der Bosch pada masa kolonial seperti Indonesia.  Tak ada kisah kelam dalam secangkir kopi di Thailand.  Persentuhan kopi dengan Thailand terlihat lebih manis ketimbang dengan yang terjadi di Nusantara.  Hubungan intim antara Thailand dan kopi  dimulai belum lama, sekitar tahun 1970-an.  Kondisi geografis Thailand merupakan ladang bagus bagi pengembangan kopi untuk menggantikan opium.  Dalam hal ini, PBB turut campur dalam studi kelayakan penggantian opium dengan tanaman lain, dan kopi menjadi kesimpulan yang layak untuk perkara itu.  Pemerintah, dalam hal ini The Royal Project juga menggunakan penanaman kopi ini untuk menyikapi deforesisasi oleh beberapa kelompok etnis lokal yang masih menjalankan pertanian berpindah.  

Sejak itu, kopi ditanam secara massal di dataran-dataran tinggi Thailand untuk sebagian diekspor memenuhi permintaan pasar global dan sebagian lagi untuk memenuhi kebutuhan domestik.  Biji-biji hitam beraroma harum ini bergulir dari pegunungan sejuk di belahan utara dan selatan Thailand, terombang-ambing di timbangan para tengkulak, diolah dan dikurung dalam kemasan-kemasan bermerk, mengendap di kedai-kedai kopi mewah atau gerobak-gerobak kopi pinggir jalan, sebelum akhirnya diracik lalu berada di genggaman para penggemarnya dengan segala cara, gaya dan suasana.  

Thung Tom Kafae, saringan dari kain


Seperti siang itu, secangkir kopi hitam kupesan khusus tanpa susu serta tanpa es kepada ibu peracik yang menjajakan kopi seduhannya di badan trotoar Khaosan Road.   Sambil menyaring bubuk kopi dengan thung tom kafae -semacam saringan kain, diceritakannya padaku bahwa biji kopi itu berasal dari Chiang Rai, pegunungan di utara yang menghasilkan arabika unggulan.  Aku mencermati setiap gerak tangannya dalam menyiapkan kopi pesananku dengan kusyuk.  Sebab dari kedua tangan dan senyum di bibirnya itu secangkir kopi nikmat akan menjadi berkahku siang itu.  Setelah membayarnya dengan koin Baht, aku terima secangkir kopi hitam di cangkir kertas tahan panas dari tangannya.  Kami bertukar senyum paling manis yang kami miliki sebelum si ibu sigap membuat kopi pesanan berikutnya dan aku melanjutkan menelusuri jalanan di Khaosan Road.  Well ya, Bangkok adalah land of smiles, berada di sana dengan secangkir kopi tentu selalu menerbitkan senyum.

Biji kopi dari Chiang Rai


Sumber :






Kamis, 06 Juni 2013

Suwung di balik Slintru

Di sebuah rumah jawa.  Kotagede. 

Aku melintasi regol, seketika sebuah pendapa menghadang pandanganku.  Bangunan tanpa sekat, ruang bagi pemilik rumah untuk terbuka dengan siapapun dan apapun.  Terbuka, karena hanya terbangun dari empat saka guru dan dua belas saka ruwa  menciptakan bayang yang doyong ke barat di atas ubin abu-abu, matahari baru saja naik.  Pendapa itu selain terbuka juga 'terang', tak ada yang tertutup atau ditutupi di sini.

Kuputari pendapa yang memiliki tumpangsari bersusun lima itu dan langsung menuju pringgitan. Ruang antara pendapa dan dalem ageng, tempat di mana seorang dalang biasa melakonkan ringgit atau wayang.  Sesampainya di emper, kuletakkan pantat, duduk, di gigirnya.  Di sini, suasana tak seterang pringgitan apalagi pendapa.  Tembok-tembok tebal yang mengepung emper dari kanan dan kiri menyiutkan cahaya.

Kuintip ruang dalam yang temaram.  Mesti matahari sudah mulai terang, tapi cahayanya tak bisa lebih jauh menembus dalem ageng.  Sepasang jendela berjeruji kayu yang mengapit pintu kayu berbilah dua, tak juga membantu sedikitpun ruang dalam itu mendapatkan sinar dan kehangatan matahari.  Gelap.

Aku bangkit.  Lantai emper yang sedikit lebih tinggi itu membuatku mencincing kain saat menaikinya.  Selembar jarik kawung untuk jiwa yang suwung. Jarik yang ketat membebat tubuh itu menjaga langkah tidak tergesa-gesa dan membuatku memilih berjalan hati-hati daripada wirang karena terjungkal.  Mata memicing untuk dapat melihat semuanya menjadi jelas.  Perlu penyesuaian dari terang ke gelap selama beberapa detik sebelum kemudian dapat melihat satu setel meja kursi kayu, sebuah amben dan dua lemari kayu serta dua buah lampu senthir berkaki, setinggi 1 meter.

Aku berdiri menghadap utara, tepat di depan senthong tengah.  Ini adalah satu-satunya bagian yang tidak tertutup, setidaknya sedikit tertutup dan tak rapat.  Sementara kedua senthong lain di kiwa dan tengen berpintu dan ditutup.  Senthong tengah ini hanya ditutupi slintru, partisi dari bilah-bilah papan dilukis motif cinde yang dirakit menjadi satu.  Aku mengintip dari celah, dan hanya menjumpai gelap.  Serta kosong.

Inilah yang kucari.  Ruang kosong.  Bagian paling sakral dalam rumah tradisional jawa, senthong tengah.  Lantainya sengaja ditinggikan karena ruang untuk manusia dan ruang untuk-Nya ditandai dengan level yang berbeda.  Kegelapan yang juga sengaja diciptakan dengan tanpa memberikan lubang cahaya menggiring penglihatan menjadi buta pada hal-hal yang bendawi.  Atau sebaliknya, gelap membuat penglihatan semakin tajam memindai.  Seperti sunyi yang menajamkan telinga untuk menangkap bisik terhalus, yang biasanya tak terdengar sebab gaduh yang kita buat sepanjang waktu.  Seperti juga sepi yang melahirkan kesadaran akan setiap gerak yang tengah dilakukan.

Suwung, ruang dibalik slintru itu suwung.  Sekarang hanya ada aku dan kekosongan.  Aku dihadapkan pada situasi yang membuatku kerdil.  Kesendirian.  Tidak ada kawan yang menemani dan tak ada lawan yang menyaingi.  Tak ada yang dihadapi.  Lalu apa? Manusiawiku menjadi luruh dalam dudukku simpuh.  Kekosongan menghadirkan-Nya begitu nyata. 

Senthong tengah yang slintru-nya sudah dibongkar, menjadi ruang terbuka dan kini dipakai untuk Sholat

------------

Imajinasi dan perasaan lebay yang campur aduk saat terkesan dengan Senthong Tengah sebuah rumah tradisional Jawa di Kotagede.  Ruang ini sudah dihilangkan atau dialihfungsikan, tidak ada yang menggunakannya lagi sesuai makna saat ruang ini dibangun dulu.

Senthong tengah merupakan ruang inti dari ndalem ageng.  Tidak digunakan untuk tidur atau kegiatan apapun.  Dulu, ruang ini dipersembahkan kepada Dewi Sri yang akan turun memberkati panen, kesejahteraan dan keselamatan penghuni rumah. 

Senthong tengah ndalem Sopingen, Kotagede

Senthong tengah ndalem juragan perak di Purbayan Kotagede

Senthong tengah di Between Two Gates, Kotagede

Selasa, 04 Juni 2013

Milas Resto : Menu Vegetarian dan Organik

 Milas Resto
  • Jl Prawirotaman IV 127 Jogjakarta
  • 0274 742 3399
  • Sore - Malam
  • Selasa - Minggu
  • Menu vegetarian & Organik
  • Souvenir Shop
  • Books Rental









Lonely Planet, kitab suci bagi pejalan kaki dengan ransel itu mengulas Milas Resto sebagai ' a secret garden restaurant'.  Memang benar, resto ini seperti tempat rahasia, sebab letaknya tidak di pinggir jalan besar Prawirotaman, tapi tersembunyi di salah satu gang-nya.  Penataannya menyerupai taman, gazebo-gazebo dari bambu dan beratap rumbia menyebar di antara pohon-pohon berkarpet rumput yang segar.  Yup, Milas resto is a secret garden restaurant.  

Milas menjadi referensi yang penting bagi para vegetarian.  Semua menu bebas daging.  Tukang masaknya mengganti daging dengan tempe, tahu atau kentang.  Misalnya steak daging diubah menjadi steak tempe.  Meskipun vegetarian, resto ini masih menyediakan telur di dalam daftar menunya.  Ada omelet yang berisi kentang dan sayuran atau nasi goreng sayur dengan tambahan telor ceplok.  Jadi para veggie yang alirannya tidak begitu keras, artinya masih mengkonsumsi telur, resto ini pilihan yang tepat.

Steak Tempe


Resto ini menggunakan bahan atau sayuran organik, sehingga harga per menu agak mahal dibanding dengan resto-resto sejenis. Ada sudut kecil di dekat kasir yang men-display beras dan kacang-kacangan organik untuk dijual.  Jelas, resto yang dimiliki oleh orang asing ini memiliki konsep berbeda dan sangat mendukung gaya hidup sehat para pengunjungnya.  Mereka juga meniadakan MSG/vetsin dari daftar bumbu yang dipakai untuk memasak setiap menu.  Jadi jangan kaget jika lidah tak menemukan sensasi gurih, kecuali hanya asin, manis, asam atau pedas apa adanya. 


Potatoes Plate

Kesempatan pertama datang ke restoran ini saat acara perpisahan seorang teman dari Amerika yang akan pulang ke negaranya.  Kali kedua datang ke restoran ini adalah saat seorang teman dari Singapura datang dalam rangka riset untuk penulisan novelnya.  Teman yang terakhir ini tidak memakan daging atau vegetarian murni karena dia adalah perempuan berkasta Brahmin.  Kasta tertinggi di India yang biasanya tidak memakan daging dan tidak meminum alkohol.  

Ya, resto ini menjadi favorit tidak saja kaum vegetarian tapi juga para bule.  Jumlah mereka terlihat selalu lebih banyak dibanding pengunjung lokal.  Mungkin karena letaknya masih di seputaran Prawirotaman yang terkenal sebagai kawasan turis utama di Jogjakarta dan mungkin juga karena telah diulas dalam Lonely Planet.  Buku yang menuntun para backpacker seluruh dunia ke mana saja, termasuk ke gang sempit tempat dimana Milas Resto bersembunyi.

Jagung balado



Seperti umumnya kawasan turis di seluruh dunia yang selalu menyediakan toko buku (bekas & baru), resto ini memiliki sudut lain di belakang kasir yang menyimpan koleksi buku-bukunya.  Jamak diketahui, pejalan biasanya membawa satu buku yang menjadi pendamping selama di mobil, kereta, pesawat atau moda transportasi apapun.  Buku-buku yang disediakan Milas Resto kebanyakan berbahasa asing, karena memang diperuntukkan para pejalan dari luar negeri.  Tentu saja buku berbahasa Inggris dominan menguasai rak-raknya ketimbang bahasa asing lainnya.  

Book Rental

 Di pojokan lain, souvenir shop bisa menjadi tujuan favorit pengunjung.  Mereka menyediakan berbagai macam souvenir khas Jogja yang berbahan lurik, batik, gerabah dan lain sebagainya.  Desainnya unik dan pengerjannya rapi, sangat berkualitas dan sungguh membuat kalap ingin belanja.  Seperti waktu itu, sekali datang, satu tas dari lurik warna ungu, satu tas batik lawasan, satu buku catatan dari kertas daur ulang, tiba-tiba tak bisa lepas dari tanganku, lalu masuk tas belanjaan begitu saja.  
Ohh tidaaaaak ..

Souvenir Shop











Senin, 03 Juni 2013

Namanya Ho Chi Minh City, tapi aku memanggilnya Saigon

Kota Ho Chi Minh menyambut kedatanganku dengan gerimis.  Langit mendung terlihat sejak melintas batas Cambodia-Vietnam.  AC bis yang dingin dan pemandangan di luar yang tak cerah membuat sendu hatiku.  Tak bersemangat.  Atau mungkin karena friksi kecil dengan agen bis malam yang dipesan oleh pihak hotel, membuat perjalanan Pnom Penh-Ho Chi Minh tertunda 8 jam.  Atau mungkin perasaan sedih yang tak terlupakan saat mengunjungi Killing Field dan Genocide Museum S-21 di Pnom Penh.  Dua tempat yang melenyapkan senyum dan bahagia seketika.  Atau bisa jadi hanya karena fisikku yang mulai melemah sejak 8 hari meninggalkan rumah, 5 jam city tour saat transit di Singapura, 4 hari di Bangkok, 3 hari di Angkor Wat dan 1 hari di Pnom Penh.  

Perbedaan begitu mencolok tertangkap kedua mataku saat memasuki wilayah Vietnam.  Tiba-tiba aku banyak berhadapan dengan orang-orang berkulit kuning dan bermata sipit, begitu memasuki gedung kantor Imigrasi yang megah tapi terasa kaku dalam desain.  Tentu saja tak lagi banyak orang berkulit coklat mirip diriku seperti ketika aku berada di Cambodia.  Vietnam termasuk negara Indochina yang lebih dipengaruhi oleh China daripada India.  Semenanjung Indochina adalah wilayah geografis di timur India dan selatan China, termasuk di dalamnya, selain Vietnam adalah Cambodia, Laos dan Thailand yang lebih banyak dipengaruhi India.  

Beberapa pria dan perempuan berkulit kuning menawarkan kertas-kertas kupon kepadaku dan para pelintas batas lainnya dari Bavet (Cambodia) menuju Moc Bai (Vietnam).  Lotere.  Satu hal yang banyak kujumpai lagi selain di pasar-pasar Bangkok.  Selanjutnya, di sepanjang jalan meninggalkan perbatasan dan makin masuk ke dalam wilayah Vietnam, gedung-gedung casino yang besar, mewah dan modern menjadi pemandangan yang silih berganti kulihat dari kaca jendela bis.  Serupa frame demi frame dalam sebuah pemutaran film.    

Begitu kakiku menapak di tanah Saigon (Ho Chi Minh sekarang), tubuhku yang lelah dan kaku ditekuk semalaman, dituntun oleh kebutuhan mencari Money Changer.  Sebuah bank kutemukan beberapa meter dari pemberhentian bis yang mengangkutku dari Pnom Penh.  Semangat langsung menjalar ke tubuhku saat mendapati kenyataan bahwa uang rupiah lebih tinggi daripada uang Vietnam Dong (VND).  Beberapa lembar sepuluhan dollar yang kutukarkan menggemukkan dompetku.  1 USD = 20.000 VND.  Oh la la ..

Setiba di kamar hotel yang telah dipesan dari internet sebelum berangkat, aku pandangi lembaran-lembaran Dong di atas sprei putih.  Kertasnya kaku dan seperti dilapisi plastik dan terdapat bagian transparan mirip uang seratus ribu rupiah yang lama.  Semua bergambar Paman Ho.  Hmmm .. aku benar-benar berada di Ho Chi Minh dan memegang uang bergambar dirinya.  Tak hanya uang, foto tokoh legendaris dari Vietnam Utara itu menghiasi jalanan kota melalui spanduk atau baliho besar dengan latar merah yang dominan.  Tak ketinggalan simbol palu arit berwarna kuning di salah satu sudut papan publikasi menyertai Bapak Bangsa Vietnam itu.

Bapak Bangsa Vietnam : Ho Chi Minh


Nuansa komunis memang terasa jika berjalan kaki mengelilingi kota yang pernah direbut pasukan Vietnam Utara dari tangan Amerika.  Banyak patung di taman-taman kota yang memberikan gambaran tentang buruh menggenggam alat juangnya; palu dan arit.  Ho Chi Minh begitu dihormati dan dielu-elukan di sini.  Namanya dipakai untuk menandai kekuasaan komunis di wilayah bekas Vietnam Selatan yang semula dikuasai Amerika.  Nama Saigon meskipun masih sering digunakan warganya, tapi nama Ho Chi Minh telah resmi menggantikannya sejak kekalahan Amerika dan bersatunya Vietnam Utara - Vietnam Selatan.  

Patung di taman kota


Namun bagiku, Saigon adalah nama yang terlanjur melekat.  Secara personal, nama Saigon begitu nostalgic untukku.  Menginjakkan kaki di wilayah istimewa yang dulu hanya kukenal dari buku pelajaran sejarah menciptakan haru sekaligus antusias padaku. Nama ini kukenal dari buku-buku sejarah tentang Soekarno yang pergi ke Dalat Saigon pada saat menjalin hubungan baik dengan poros kiri.  Tentang asal manusia perahu yang berjuang di atas gelombang laut menuju tanah-tanah harapan, di antaranya adalah Pulau galang, Kepulauan Riau, Indonesia.   Dan tentu saja tentang Perang Vietnam.  

Display alat perang Amerika. Rakyat Vietnam telah menang melawan alat-alat perang canggih ini


Saigon pernah menjadi ruang yang diperebutkan oleh Amerika Serikat yang menahan gelombang ekspansi komunis di Indochina dan Vietnam Utara yang hendak meluaskan pengaruh komunis didukung oleh China dan Uni Soviet.  Museum perang dibangun di pusat kota untuk mengenang perang dan mengangkat kepercayaan diri warganya, bahwa bangsanya telah berhasil mengalahkan negara sebesar Amerika Serikat.  Di dalamnya ditampilkan kekalutan pasukan Amerika yang secara keji menggunakan senjata kimia pemusnah massal : Agent Orange.  Saat itu perlawanan rakyat Vietnam tak lagi mampu dihadapi dengan senjata dan bertarung secara fisik.  Agent Orange mampu memusnahkan rakyat Vietnam dengan cepat dan massal.  Namun, tragedi yang terhenti pada tahun 1975 itu masih tersisa hingga saat ini.  Rakyat Vietnam yang tak mati saat senjata itu disebar, mengalami cacat tubuh dan merusak gen.  Anak-anak yang terlahir dari orang tua cacat akibat agent orange tumbuh tidak sempurna.  Mereka bisa dilihat di sudut lain Museum Perang, sebuah ruang yang mengumpulkan mereka sedang mengerjakan ketrampilan tangan dengan kemampuan tubuh yang terbatas.  Hasil buatan tangan mereka akan dijual sebagai souvenir.  Tak bisa dikelabui, Vietnam tetap kelam bagiku hingga saat ini.

Agent Orange

Nguyen Ngoc Loan kepala polisi Vietnam Selatan mengeksekusi seorang tawanan bernama Nguyen Van Lem, seorang kapten dari Viet Cong (Front Nasional Kemerdekaan Vietnam Selatan) yang berperang melawan pemerintah Vietnam Selatan dukungan Amerika Serikat.  Fotografer Eddie Adams memenangkan hadiah Pulitzer tahun 1969 atas foto ini yang diambil di Saigon, Vietnam Selatan pada tanggal 1 Februari 1968.

Aku sudah membayangkan bahwa kota ini akan terasa suram akibat perang yang baru saja selesai 30 tahunan lalu.  Tapi di luar dugaan, kota ini begitu berdenyut, begitu sibuk dan begitu pesat memajukan diri.  Tak ada pinggir jalan yang tidak digunakan sebagai toko, kios atau tempat usaha.  Mereka menjual produk lokal hingga merek-merek internasional.  Tak bisa lagi membayangkan bahwa kota ini sosialis, tapi justru terlihat sangat kapitalis. 

Bangunan modern di tengah kota

Tiga hari dua malam yang kuhabiskan di kota ini meninggalkan kesan yang campur aduk di ingatan.  Kemajuan dan hiruk pikuk yang melelahkan menjadi kejutan tersendiri.  Kepedihan pasca perang tak seluruhnya bisa hilang kurasakan.  Saigon -Vietnam - Perang, sungguh telah menjadi rangkaian kata yang tak bisa kupisahkan, kisah-kisah tentang ketiganya selalu datang bersamaan dalam ingatan.  
 
Secara fisik, tubuh ini telah.  Jiwa ini telah penuh dengan hal-hal baru yang kutemui di sepanjang perjalanan 10 hari.  Rindu makanan yang rasanya bisa dikenali tak terbendung lagi.  Pada saat itu, untuk pertama kalinya aku membeli ayam goreng waralaba dari Amerika sebagai makan siang, bukan jenis makanan setempat.  Lidah sudah tak sanggup lagi merasakan makanan-makanan asing sepanjang perjalanan yang kutemui.  Bahkan aku tak sanggup menghabiskan kopi hitam Vietnam yang pekat dan getir.  

Kukenali tubuh dan jiwaku memiliki keterbatasan 10 hari untuk melihat, mendengar, menghirup, mencicipi dan meraba segala sesuatu yang tak kukenali sepanjang perjalanan.  
 
Aku rindu rumah. 










Deja vu dengan mainan tradisional Mbah Joyo Pandes

Kitiran/kincir

Dalam sekian puluh tahun perjalanan hidup, kita selalu mengalami perjumpaan juga perpisahan.  Kita selalu menemui perjumpaan-perjumpaan dengan apapun setiap saat.  Dan disadari ataupun tidak, banyak hal pula telah lepas dari kehidupan kita.  Datang dan pergi.  
Mari kita menengok ke belakang, sepuluh, dua puluh atau tiga puluh tahun yang lalu.  Saat kanak-kanak, mainan adalah bagian yang tak bisa dilepaskan dari kehidupan kita.  Benda-benda yang wajib ada menyertai pertumbuhan kita.  Sebab inilah media pembelajaran yang luar biasa.  Banyak dari kita yang tak ingat lagi begaimana riangnya menjumpai mainan baru dan bagaimana sedihnya ketika mainan itu rusak atau hilang. 

Masih ingat mainan apa yang dimiliki saat itu? 

Aku dan adikku memiliki masing-masing satu ember besar penuh mainan.  Karena kami berbeda jenis kelamin, maka ibuku perlu memisahkan wadahnya.  Kami bertanggungjawab atas mainan yang dimiliki, kerusakan, kehilangan, dan yang terpenting adalah pemberesan setelah bermain.  Aku tak begitu ingat mainan apa saja yang aku miliki.  Tapi yang jelas mainan pabrikan dari plastik mendominasi isi emberku.  Saat mengunjungi Dusun Pandes di Bantul, tempat mainan tradisional warna-warni ini dibuat, aku sama sekali tidak bisa mengingat apakah aku pernah memilikinya? 

Aku mungkin tak pernah memilikinya dulu, tapi aku begitu antusias saat berada di rumah Mbah Joyo Sumarto (80-an tahun).  Beliau adalah salah satu dari beberapa perempuan sepuh pembuat mainan anak-anak dari material sederhana bahkan beberapa dari bahan bekas.  
Aku sangat senang meniup bunga-bunga kincir hingga berputar.  Bahkan aku kegirangan saat angin menerobos celah-celah dinding bambu yang tak rapat itu.  Angin membuat bunga-bunga kitiran yang terpasang di dinding itu berputar semua dan menimbulkan suara sedikit berisik.  Ahh, aku bahagia memandanginya, semua berputar bersamaan.  Aku lalu menjadi trenyuh, aku pasti pernah sebahagia ini saat kanak-kanak dulu.  Seperti deja vu.

Saat itu sungguh aku seperti anak kecil yang terperangkap dalam tubuh orang dewasa.  Aku tergesa-gesa memilih mainan yang akan kubeli, seperti takut mainan terbaik akan diambil oleh anak lain.  Tentu saja mainan ini nanti akan kuberikan untuk gendukku, demi sebuah senyum bahagia di wajahnya.  Ada Kitiran bunga kertas, kandhang burung dari bilah bambu, payung dari kertas wajik, wayang dari karton bekas dos rokok dan susu, juga othok-othok.  Mainan terakhir aku sebut ini menciptakan bunyi memekakkan telinga.  Ada pelat seng tipis yang memukul-mukul gendang kecil dari bambu, saat pegangannya diputar.  Mainan seharga Rp 2.000 ini berhasil membuatku tertawa lebar saat memutarnya dan klothok kothok klothok .. begitu bunyinya.  Temanku yang ikut berkunjung mendelik sambil menutup telinganya.  Aku tertawa senang bisa membuatnya terganggu! 

Lalu aku merasa iri dengan anak-anak Kotagede yang pada masa Mbah Joyo masih kuat mengkayuh sepeda, bisa membeli mainannya di Pasar Legi.   Iri yang biasa timbul pada diri anak-anak karena temannya mempunyai mainan yang tak dimilikinya.  Pada saat itu mainan Mbah Joyo digelar di bawah salah satu Pohon Waru di sisi barat pintu masuk Sarlegi Kotagede.  Warna-warni dan bunyinya yang berisik pasti menarik perhatian anak-anak Kotagede yang pada tahun 80-an berusia TK atau SD.  
Lalu aku merengut saat Mbah Joyo bercerita, bahwa mainannya juga menjadi rebutan anak-anak kecil di malam Sekaten atau pasar-pasar malam.  Ahh, kenapa bapak dan ibu tidak mengajak aku serta adikku ke Sekaten waktu itu? Sungguh protes dan keirian yang konyol, khas anak-anak yang tak pantas lagi hinggap dalam pikiran orang dewasa sepertiku. 

Sesaat sebelum pulang aku meminta simbah berfoto denganku, sebagai alasan aku bisa duduk berdekatan dengannya.  Aku menempel pada tubuh tuanya, seperti seorang anak yang aleman (manja) dan merengek padanya.  Aku menyentuh keriput kulit pada tangannya yang kering.  Ada keajaiban dibuat oleh kedua tangan itu, yaitu tawa, gelak canda dan kegembiraan anak-anak. Termasuk aku, seorang dewasa yang saat itu terberkahi dengan rasa bahagia yang hanya dimiliki anak-anak.

Semoga Mbah Joyo selalu sehat dan bahagia seperti anak-anak yang tengah bermainan dengan karya-karyanya.  
Sungkem. 


Rumah Mbah Joyo Sumarto



Kitiran/kincir bunga

Wayang dari karton bekas dos rokok, susu, dll


Kandang burung dan payung fantasi

Peralatan sederhana