Senin, 03 Juni 2013

Namanya Ho Chi Minh City, tapi aku memanggilnya Saigon

Kota Ho Chi Minh menyambut kedatanganku dengan gerimis.  Langit mendung terlihat sejak melintas batas Cambodia-Vietnam.  AC bis yang dingin dan pemandangan di luar yang tak cerah membuat sendu hatiku.  Tak bersemangat.  Atau mungkin karena friksi kecil dengan agen bis malam yang dipesan oleh pihak hotel, membuat perjalanan Pnom Penh-Ho Chi Minh tertunda 8 jam.  Atau mungkin perasaan sedih yang tak terlupakan saat mengunjungi Killing Field dan Genocide Museum S-21 di Pnom Penh.  Dua tempat yang melenyapkan senyum dan bahagia seketika.  Atau bisa jadi hanya karena fisikku yang mulai melemah sejak 8 hari meninggalkan rumah, 5 jam city tour saat transit di Singapura, 4 hari di Bangkok, 3 hari di Angkor Wat dan 1 hari di Pnom Penh.  

Perbedaan begitu mencolok tertangkap kedua mataku saat memasuki wilayah Vietnam.  Tiba-tiba aku banyak berhadapan dengan orang-orang berkulit kuning dan bermata sipit, begitu memasuki gedung kantor Imigrasi yang megah tapi terasa kaku dalam desain.  Tentu saja tak lagi banyak orang berkulit coklat mirip diriku seperti ketika aku berada di Cambodia.  Vietnam termasuk negara Indochina yang lebih dipengaruhi oleh China daripada India.  Semenanjung Indochina adalah wilayah geografis di timur India dan selatan China, termasuk di dalamnya, selain Vietnam adalah Cambodia, Laos dan Thailand yang lebih banyak dipengaruhi India.  

Beberapa pria dan perempuan berkulit kuning menawarkan kertas-kertas kupon kepadaku dan para pelintas batas lainnya dari Bavet (Cambodia) menuju Moc Bai (Vietnam).  Lotere.  Satu hal yang banyak kujumpai lagi selain di pasar-pasar Bangkok.  Selanjutnya, di sepanjang jalan meninggalkan perbatasan dan makin masuk ke dalam wilayah Vietnam, gedung-gedung casino yang besar, mewah dan modern menjadi pemandangan yang silih berganti kulihat dari kaca jendela bis.  Serupa frame demi frame dalam sebuah pemutaran film.    

Begitu kakiku menapak di tanah Saigon (Ho Chi Minh sekarang), tubuhku yang lelah dan kaku ditekuk semalaman, dituntun oleh kebutuhan mencari Money Changer.  Sebuah bank kutemukan beberapa meter dari pemberhentian bis yang mengangkutku dari Pnom Penh.  Semangat langsung menjalar ke tubuhku saat mendapati kenyataan bahwa uang rupiah lebih tinggi daripada uang Vietnam Dong (VND).  Beberapa lembar sepuluhan dollar yang kutukarkan menggemukkan dompetku.  1 USD = 20.000 VND.  Oh la la ..

Setiba di kamar hotel yang telah dipesan dari internet sebelum berangkat, aku pandangi lembaran-lembaran Dong di atas sprei putih.  Kertasnya kaku dan seperti dilapisi plastik dan terdapat bagian transparan mirip uang seratus ribu rupiah yang lama.  Semua bergambar Paman Ho.  Hmmm .. aku benar-benar berada di Ho Chi Minh dan memegang uang bergambar dirinya.  Tak hanya uang, foto tokoh legendaris dari Vietnam Utara itu menghiasi jalanan kota melalui spanduk atau baliho besar dengan latar merah yang dominan.  Tak ketinggalan simbol palu arit berwarna kuning di salah satu sudut papan publikasi menyertai Bapak Bangsa Vietnam itu.

Bapak Bangsa Vietnam : Ho Chi Minh


Nuansa komunis memang terasa jika berjalan kaki mengelilingi kota yang pernah direbut pasukan Vietnam Utara dari tangan Amerika.  Banyak patung di taman-taman kota yang memberikan gambaran tentang buruh menggenggam alat juangnya; palu dan arit.  Ho Chi Minh begitu dihormati dan dielu-elukan di sini.  Namanya dipakai untuk menandai kekuasaan komunis di wilayah bekas Vietnam Selatan yang semula dikuasai Amerika.  Nama Saigon meskipun masih sering digunakan warganya, tapi nama Ho Chi Minh telah resmi menggantikannya sejak kekalahan Amerika dan bersatunya Vietnam Utara - Vietnam Selatan.  

Patung di taman kota


Namun bagiku, Saigon adalah nama yang terlanjur melekat.  Secara personal, nama Saigon begitu nostalgic untukku.  Menginjakkan kaki di wilayah istimewa yang dulu hanya kukenal dari buku pelajaran sejarah menciptakan haru sekaligus antusias padaku. Nama ini kukenal dari buku-buku sejarah tentang Soekarno yang pergi ke Dalat Saigon pada saat menjalin hubungan baik dengan poros kiri.  Tentang asal manusia perahu yang berjuang di atas gelombang laut menuju tanah-tanah harapan, di antaranya adalah Pulau galang, Kepulauan Riau, Indonesia.   Dan tentu saja tentang Perang Vietnam.  

Display alat perang Amerika. Rakyat Vietnam telah menang melawan alat-alat perang canggih ini


Saigon pernah menjadi ruang yang diperebutkan oleh Amerika Serikat yang menahan gelombang ekspansi komunis di Indochina dan Vietnam Utara yang hendak meluaskan pengaruh komunis didukung oleh China dan Uni Soviet.  Museum perang dibangun di pusat kota untuk mengenang perang dan mengangkat kepercayaan diri warganya, bahwa bangsanya telah berhasil mengalahkan negara sebesar Amerika Serikat.  Di dalamnya ditampilkan kekalutan pasukan Amerika yang secara keji menggunakan senjata kimia pemusnah massal : Agent Orange.  Saat itu perlawanan rakyat Vietnam tak lagi mampu dihadapi dengan senjata dan bertarung secara fisik.  Agent Orange mampu memusnahkan rakyat Vietnam dengan cepat dan massal.  Namun, tragedi yang terhenti pada tahun 1975 itu masih tersisa hingga saat ini.  Rakyat Vietnam yang tak mati saat senjata itu disebar, mengalami cacat tubuh dan merusak gen.  Anak-anak yang terlahir dari orang tua cacat akibat agent orange tumbuh tidak sempurna.  Mereka bisa dilihat di sudut lain Museum Perang, sebuah ruang yang mengumpulkan mereka sedang mengerjakan ketrampilan tangan dengan kemampuan tubuh yang terbatas.  Hasil buatan tangan mereka akan dijual sebagai souvenir.  Tak bisa dikelabui, Vietnam tetap kelam bagiku hingga saat ini.

Agent Orange

Nguyen Ngoc Loan kepala polisi Vietnam Selatan mengeksekusi seorang tawanan bernama Nguyen Van Lem, seorang kapten dari Viet Cong (Front Nasional Kemerdekaan Vietnam Selatan) yang berperang melawan pemerintah Vietnam Selatan dukungan Amerika Serikat.  Fotografer Eddie Adams memenangkan hadiah Pulitzer tahun 1969 atas foto ini yang diambil di Saigon, Vietnam Selatan pada tanggal 1 Februari 1968.

Aku sudah membayangkan bahwa kota ini akan terasa suram akibat perang yang baru saja selesai 30 tahunan lalu.  Tapi di luar dugaan, kota ini begitu berdenyut, begitu sibuk dan begitu pesat memajukan diri.  Tak ada pinggir jalan yang tidak digunakan sebagai toko, kios atau tempat usaha.  Mereka menjual produk lokal hingga merek-merek internasional.  Tak bisa lagi membayangkan bahwa kota ini sosialis, tapi justru terlihat sangat kapitalis. 

Bangunan modern di tengah kota

Tiga hari dua malam yang kuhabiskan di kota ini meninggalkan kesan yang campur aduk di ingatan.  Kemajuan dan hiruk pikuk yang melelahkan menjadi kejutan tersendiri.  Kepedihan pasca perang tak seluruhnya bisa hilang kurasakan.  Saigon -Vietnam - Perang, sungguh telah menjadi rangkaian kata yang tak bisa kupisahkan, kisah-kisah tentang ketiganya selalu datang bersamaan dalam ingatan.  
 
Secara fisik, tubuh ini telah.  Jiwa ini telah penuh dengan hal-hal baru yang kutemui di sepanjang perjalanan 10 hari.  Rindu makanan yang rasanya bisa dikenali tak terbendung lagi.  Pada saat itu, untuk pertama kalinya aku membeli ayam goreng waralaba dari Amerika sebagai makan siang, bukan jenis makanan setempat.  Lidah sudah tak sanggup lagi merasakan makanan-makanan asing sepanjang perjalanan yang kutemui.  Bahkan aku tak sanggup menghabiskan kopi hitam Vietnam yang pekat dan getir.  

Kukenali tubuh dan jiwaku memiliki keterbatasan 10 hari untuk melihat, mendengar, menghirup, mencicipi dan meraba segala sesuatu yang tak kukenali sepanjang perjalanan.  
 
Aku rindu rumah. 










Tidak ada komentar:

Posting Komentar