Keong rebus dengan bumbu daun serai dan daun jeruk |
Pukul 2 siang aku meninggalkan Candi Bayon di kompleks Angkor Thom dengan diikuti 200 senyum Raja Jayawarman VII. Menegelilingi Face Towers, menara dengan 200 wajah terpejam dan bibir tersenyum itu membuatku kelaparan. Minuman bekal air mineral compliment dari hotel juga sudah habis kutenggak. Tak ada pilihan lain selain mencari warung, selain untuk mengistirahatkan kaki yang mulai terasa panas di telapak.
Sepeda kukayuh menjauh, meninggalkan senyum-senyum abadi di belakangku. Guardian Post, deretan candi berbentuk menara berbahan batu kemerahan kulewati begitu juga satu pohon besar yang rindang menuju gerombolan rumah-rumah kayu sederhana di kejauhan. Setelah melewati lapangan rumput yang bersih dan hijau menyegarkan, berbelok ke kiri, lalu berhenti di dekat satu pohon di sekitar warung-warung makan untuk merantai sepeda sewaan.
Kupilih warung makan yang paling dekat dengan runtuhan candi tanpa atap. Rasanya mewah sekali bisa menikmati makan siang dan memandang candi dalam waktu bersamaan, dari jarak yang sangat dekat. Warung ini termasuk sepi pengunjung, mungkin karena sudah lewat jam makan siang. Nasi goreng tak lama datang setelah aku memesannya. Sepiring nasi yang digoreng dengan rasa sedikit pedas ditambah nanas potong, tak terbiasa dengan tambahan nanas, tapi segar juga rasanya.
Selesai menghabiskan seporsi nasi goreng, aku tidak langsung beranjak, aku perlu mengasokan kaki sambil menikmati tingkah laku penduduk lokal yang berinteraksi dengan para tamu yang mampir di warungnya. Saat itulah, sebuah sepeda motor datang memasuki area warung dan mengacaukan beberapa penduduk yang tadinya bergerombol di salah satu meja di bawah pohon. Penjual makanan. Mereka merubung lelaki yang baru tiba dengan bawaannya di jok belakang sepeda motornya. Aku penasaran, lalu bergabung dengan mereka.
Astaga! Penjual keong rebus!
Ratusan mungkin ribuan keong ditaruh dalam wadah seperti tampah dari anyaman bambu. Untuk menjaganya tetap hangat, wadah diletakkan di atas kompor yang dilindungi kaleng roti. Mungkin di dalamnya ada panci untuk merebus air yang uapnya digunakan untuk membuat keong selalu hangat. Sebuah kaleng bekas susu kental manis dipakai untuk menakar keong yang akan dibeli. Persis seperti membeli kacang godhog.
Perempuan yang membuatkanku nasi goreng juga ikut membeli, satu plastik. Aku mengikutinya kembali ke warung, duduk di salah satu kursi dan sekejap anak-anak dan tiga perempuan lain yang membantu di warungnya, merubung seplastik keong rebus itu. Aku melihat mereka asyik sekali, mengorek daging keong dari cangkang dengan ujung tusuk gigi. Menambahkan sambal sebelum memasukkannya ke dalam mulut dan mengunyahnya. Melihat ini, mentalku seperti diuji.
Ada rasa mual di perutku saat melihat daging yang tertancap di ujung tusuk gigi itu masuk ke dalam mulut. Sebab aku tak bisa melupakan bagaimana rupa keong saat maih hidup, tubuhnya yang berlendir dan menggendong rumah itu berjalan pelan merambat tembok.
Setengah mati aku menahan jijik demi kesopanan dan menghormati kesukaan mereka saat perempuan pemilik warung itu menawariku untuk mencobanya. Aku serasa mau muntah saat satu buah keong disodorkan padaku. Tentu saja aku menolak, daripada sepiring nasi goreng yang kubayar agak mahal 5 dollar dengan sebotol coke dingin keluar semua dari perut. Muntah.
Aku hanya tersenyum kepada mereka dan mengucapkan terimakasih, tapi aku menemani mereka menghabiskan seplastik keong rebus untuk menghormati undangannya bergabung.
Setelah membayar lagi untuk sebotol air mineral ber-merek 'Bayon', aku pamit kepada mereka. Melanjutkan mengkayuh sepeda menuju Candi Elephant Terrace, yang tak jauh dari situ. Sepanjang jalan aku menyadari bahwa dalam perjalanan ujian bisa bermacam-macam bentuknya. Tidak hanya keberanian menjadi asing, menjadi nobody, menjadi hilang, tapi juga keberanian untuk melihat semua situasi apa adanya. Saat kondisi normal, aku berada di Indonesia, aku tentu menilai bahwa itu makanan menjijikkan dan tak pantas dikonsumsi. Tapi di tanah orang, saat segalanya berbeda dengan yang selama ini aku kenal, aku tak bisa menghakiminya. Ini kebiasaan mereka, ini sesuatu yang wajar adanya. Mestinya aku sebagai pejalan menerimanya tanpa menghakimi.
Di dunia ini, tempat di mana manusia terpisah-pisah oleh garis-garis alam maupun politis non-alam, sungguh beragam gaya hidupnya. Aku yang baru melihat sangat sedikit dari keberagaman itu merasa malu saat tanpa sadar menilai dari bermacam-macam orang itu dengan baik-buruk, bagus-jelek, enak-tidak enak dan lain sebagainya. Kita tidak bisa melihat segala sesuatu dari sudut kita. Dari jalanan, aku mendapat pelajaran bahwa sungguh keberagaman itu ada dan yang berbeda denganku itu akan selalu baik-baik saja meskipun terlihat tidak sesuai menurut mataku.
Di perjalanan pulang menuju penginapan di pusat Siem Reap, ternyata aku memang banyak menemui penjual keong rebus di pinggir jalan. Aku lantas tahu bahwa ini memang kebiasaan dan favorit mereka, menjadikan keong yang banyak muncul sebagai camilan.
Setiap tempat, setiap detik dan setiap pribadi adalah unik. Aku menghargainya.
Penjual keong rebus |
Perempuan pemilik warung nasi goreng dan teman-temannya |
Seplastik keong rebus, habis dalam sekejap |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar