Jumat, 23 November 2012

Kopi : secangkir getir di Cambodia

Gerbang tak terkejar juga ketika hujan mulai turun dengan deras.  Pengunjung mulai berhamburan menuju gerbang dan yang beruntung segera mencapai warung-warung makan untuk berteduh.  Angkor Wat makin jauh tertinggal di belakang saat segerombolan anak-anak Cambodia memburuku menawarkan jas hujan dari plastik.  

Satu anak yang kupilih mantelnya tergesa menyerahkan gumpalan beberapa lembar uang kembalian sambil berteriak,

"The police is coming. Run! Run!"

Kuhitung kembalian yang ternyata tak genap dan tak kulihat seorang pun polisi di sekitar ini.  

Aku dikecoh seorang bocah ingusan!

Tubuh kuyup sebab angin bertiup kencang mempermainkan dan hampir menerbangkan jas hujan hingga susah dikenakan.

Secangkir kopi hitam terhidang di atas meja bersama lalat-lalat yang beterbangan.  Mereka juga mengerubungi setangkai kuning bunga Lily pemberian Bhante Rhoan yang telah patah di salah satu dari kelima petalnya.  Seorang bhante yang membuatku merasa terberkati bertemu dengannya di lorong Angkor Wat, bercakap ringan dan membagikan padaku tentang kebaikan yang selalu datang dari setiap pikiran baik.  

"Maka kebaikan mestinya ada sejak dalam pikiran." Kata beliau sambil tersenyum dan mengulungkan setangkai Lily berwarna kuning untukku.

Kepulan dari seduhan kopi mengantarkan aroma sedap, menguar di udara, menerobos hidungku dan mengirimkan sugesti yang menenangkan. 

Mata ini tak juga bisa lepas memandang anak-anak Cambodia bertelanjang kaki yang riang dan penuh tawa di antara guyuran hujan sore itu. Basah sekujur tubuh mereka, tapi gigil padaku, lalu mencari hangat dari kedua tanganku yang menempel pada dinding cangkir. 

Sesendok gula pasir kutambahkan ke dalam seduhan kopi yang dari pekatnya terlihat pahit.  Kucicip sedikit dari ujung sendok pengaduk dan sesendok gula perlu ditambahkan lagi.  Kuulangi menyesap dan masih perlu lagi gula untuk mengimbangi pahitnya.  No, kopi ini tidak pahit tapi getir! Berapapun gula ditambahkan, rasanya akan tetap getir. Dan aroma yang muncul di langit-langit mulut adalah sepahit obat.  

Separuh kutinggalkan saat hujan mulai reda.  Mengangsurkan 2000 Riels untuk kopi dan kebaikan hati pemilik warung yang memberiku plastik kresek untuk membungkus tas serta sepatuku.  

Kulewati anak-anak dengan bibir yang mulai biru kedinginan menuju pohon dimana sepedaku tertambat saat kutinggalkan menyusuri relung-relung Angkor Wat sepanjang siang tadi.  Mereka masih saja riang menari di bawah hujan yang sekarang tinggal gerimis.  Satu diantaranya adalah anak perempuan yang membawa kabur beberapa ribu Riels milikku.  

Ohh Cambodia ...






Tidak ada komentar:

Posting Komentar