Rabu, 28 November 2012

Laweyan : Perjalanan 'Solo' ke Solo

A labyrinth is a right brain task. It involves intuition, creativity, and imagery. With a maze many choices must be made and an active mind is needed to solve the problem of finding the center. With a labyrinth there is only one choice to be made. The choice is to enter or not. A more passive, receptive mindset is needed. The choice is whether or not to walk a spiritual path. *lessons4living.com*

Labirin, adalah kata yang secara pribadi kutautkan dengan Kampung Laweyan, pusat industri batik yang telah eksis sejak jaman Kerajaan Pajang. Satu rumah dengan yang lain dipisahkan jarak sekitar 1 meter saja. Tembok tinggi menjulang sekitar 4 meter menyembunyikan rumah-rumah juragan batik tempo dulu, membentuk gang-gang sempit yang saling terhubung menciptakan semacam labirin. Dan benar disana, kemungkinan melewati gang yang sama akan sering terulang.

Lorong-lorong Laweyan yang menciptakan labirin raksasa


Ada beberapa ciri khas tipikal rumah-rumah Kampung Laweyan yang telah menjadi Kawasan Heritage karena usianya yang mencapai ratusan tahu, antara lain :

- tembok keliling setinggi sekitar 4 meter menjulang, menimbulkan kesan sangat eksklusif karena seolah menutup diri dari dunia luar, berhubungan dengan faktor keamanan harta kekayaan yang konon melebihi kekayaan Kasunanan Surakarta dan faktor persaingan sangat tinggi di tiap-tiap rumah produsen batik

- satu rumah bertembok tinggi bersebelahan dengan rumah lain yang sejenis menciptakan sebuah gang

- terdapat satu pintu utama/regol, biasanya terdiri dari 2 bilah papan pintu, dengan satu pintu kecil di salah satu bilah pintu regol tadi

- ada satu pintu belakang yang disebut butulan, yang dipakai untuk berhubungan dengan tetangga sekitarnya. pintu ini sangat aktif menggerakkan kegiatan-kegiatan sosial kemasyarakatan

- ruang pendopo sekarang dipakai untuk ruang display hasil produksi batik mereka

- rumah asli Laweyan seperti rumah jawa kuno lainnya, memiliki pendopo, rumah utama yg terdiri dari senthong tengah/pajimatan, senthong kiwa tengen, gandhok, dan juga emper

- jika rumah itu dipakai untuk memproduksi batik, maka ada bagian tambahan untuk kegiatan membatik, bak-bak air untuk melorot malam dan lantai atas untuk menjemur kain

Pendapa milik salah satu Mbok Mase dan Mas Nganten Kampung Laweyan

Salah satu rumah mbok mase dan mas nganten (julukan nyonya dan tuan untuk juragan batik) yang sekarang ditinggali Pak Harun Muryadi generasi ke-8 pemilik rumah di Jl Tiga Negeri, masih memiliki bunker dibawah lantai rumah untuk menyimpan harta kekayaan. Bunker dilengkapi lorong-lorong yang terhubung dengan bunker rumah lain.

Bunker di kediaman Pak Harun Muryadi

Selain batik, rumah tua dan bunker, Musium Samanhoedi (pendiri Sarikat dagang Islamiyah), Masjid dan langgar tua sangat menarik perhatian. Yang sempat kukunjungi adalah Langgar Laweyan di luar kampung, lalu Masjid Al Ma'moer berangka tahun 1945, Langgar Merdeka berangka tahun 1877, dan Masjid Laweyan yang tertua adalah Masjid Laweyan berangka tahun 1546 yaitu pada masa kerajaan Pajang yang letaknya bersebelahan dgn kompleks makam Kyai Ageng Henis, putra Ki Ageng Selo, dan berputra Ki Ageng Pemanahan, penurun raja-raja Mataram Islam.

Museum Samanhudi

Masjid Al Ma'moer (kiri atas), Masjid Laweyan (kanan atas), Langgar Laweyan (kiri bawah) dan Langgar Merdeka (kanan bawah)
Pemegang kunci Langgar Merdeka dan Langgar Laweyan, wartawan Jawa Pos


Single trip .. sangat menantang!

Aku mencatat beberapa peristiwa tidak nyaman yaitu ancaman 3 ekor anjing yang sangat kutakuti, membuatku berhenti lama, jongkok dan akhirnya berteriak hiteris karena mereka mendekat dan menyambutku dengan sangat heboh. 
Hal kedua adalah tidak bisa mencoba kuliner, karena aku tidak pernah bisa merasa nyaman mampir makan sendirian di sebuah tempat makan. Untung sebelumnya sudah sempat mengenyangkan perut di acara resepsi pernikahan tetangga yang merupakan tujuan utamaku pergi ke Solo. Selain memang sengaja membawa sedikit kue dan sebatang coklat untuk keadaan darurat, kelaparan di jalan.
 




Isi tas : 
rok selutut dan sepatu untuk kondangan, payung, tissue untuk ke toilet umum, tas toiletries, blocknote, pulpen, dompet, rajutan, snack, minum dan coklat. 
 
Karena darurat, merapikan dandanan, memakai gelang & anting, menukar sepatu dilakukan di atas becak yang melaju dari Stasiun Purwosari menuju acara resepsi pernikahan. Ganti rok dengan celana jins dan kaos lengan panjang, menukar sepatu dengan sandal dilakukan di masjid Al Ma'moer 

Catatan Mama :



  • Dari perjalanan sendiri, kita bisa menilai, seberapa keberanian, kekuatan, kenekatan, kemampuan menentukan langkah selanjutnya, kemampuan berkomunikasi dgn nara sumber yg secara acak ditemui, berperilaku baik agar orang2 baru itu dengan sangat rela bersedia atau menawarkan informasi serta bantuan ke kita.
  • Mengenai packing, makin hari kita makin tahu, benda-benda apa saja yang harus dimasukkan ke dalam tas. Setelah tiba di rumah, coba diteliti, mana benda yang tak dipakai sama sekali dalam perjalanan, artinya suatu saat benda itu tak perlu lagi dimasukkan dalam daftar bawaan. Pack-ing pun harus cermat agar beban tak berat. 



Dalam setiap perjalanan, aku paling menyukai kejutan, sesuatu yang tak ada dalam rencana tapi menarik untuk dikunjungi. kita tak tahu kemana hati mengajak dan kaki melangkah .. menikmati setiap kejadian tak terduga sebagai sebuah kejutan.

Jangan takut berjalan sendiri. Kebebasan menentukan pilihan ada di tangan, sesuai dengan minat dan intuisi kita. Dengan berjalan sendiri, kita akan lebih mengenal siapa diri kita sendiri.

Perjalanan 12 Juni 2011



Tidak ada komentar:

Posting Komentar